Masyarakat Arfak, Membangun Kehidupan di Tengah Pandemi, Tak Abai Lingkungan Alami
Oleh: Melynda Dwi Puspita
“Juara 1 dalam kompetisi menulis Balai Besar KSDA Papua Barat”
“Masyarakat adat punya aturan yang sangat ketat… aturan masyarakat adat tidak ada yang menyimpang dari aturan pemerintah.”
***
Sepenggal pernyataan Andris Salu, seorang perwakilan masyarakat adat Bahau Hulu, Kalimantan Utara. Deklarasi itu disampaikan pada Seminar Nasional Konservasi Rakyat tahun 2017, yang dimuat oleh jurnalperempuan.org.
Terbelakang, ketinggalan zaman, hidup bersama alam, kurang lebih begitulah apa yang kita nilai dari istilah masyarakat adat. Ya, masyarakat adat kerap dikaitkan dengan ketertinggalan peradaban.
Sebagai sebuah komunitas yang terkucilkan, masyarakat adat selalu terhubung dengan lingkungan tempat tinggalnya. Walaupun memiliki pengetahuan yang tergolong rendah secara sosial dan ekonomi. Namun masyarakat tradisional ini begitu menjunjung tinggi nilai budaya dan tradisi. Termasuk dalam hal mengelola alam sekitar agar tetap lestari. Apalagi di saat pandemi seperti sekarang, masyarakat tradisional sangat bergantung dengan alam untuk kecukupan bahan pangan dan obat.
Bertahan di Tengah Pandemi
John NR Gobai, Sekretaris II Dewan Adat Papua dilansir melalui VOA Indonesia, mengatakan bahwa kearifan lokal Papua seperti doa dan ritual adat, hingga pengobatan alternatif menggunakan tanaman obat menjadi penangkal masyarakat dalam menghadapi serangan berbagai jenis penyakit, termasuk Covid-19.
Sementara itu, Yanto Eluay, salah satu tokoh adat Papua berujar bahwa mayoritas orang asli Papua tidak memberikan perhatian khusus kepada wabah ini. Masyarakat adat Papua tidak menganggap pandemi sebagai suatu ancaman berarti. Karena mereka sudah terbiasa menyembuhkan penyakit tanpa harus menggunakan jasa pelayanan kesehatan. Saat orang Papua demam, mereka akan mengonsumsi daun Sampare.
Suku Kurudu di Papua meyakini khasiat tiga spesies tumbuhan yang mampu menangkal penyakit virus corona. Dalam Tradisi War wen, tiga tumbuhan tersebut, yaitu nianggotr (daun sirih hutan), nianggoi tu (sirih domestik), dan manemyo (sirih lele). Sehingga kearifan lokal masyarakat Papua sangatlah kental dan terhubung dengan alam. Begipula dengan masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan Pegunungan Arfak.
Aksi Bijak Masyarakat Arfak
Masyarakat Arfak merupakan sekelompok penduduk lokal yang hidup di Pegunungan Arfak dan terdiri dari beberapa sub suku. Diantaranya ialah Suku Hatam, Suku Moile, Suku Sough, dan Suku Meyah. Sebagian besar wilayah Pegunungan Arfak adalah hutan yang membentang hingga kawasan lembah. Sehingga masyarakat Pegunungan Arfak cenderung terisolasi dari dunia luar. Mengingat untuk mengakses ke wilayah terdekat, yaitu Kabupaten Manokwari harus menempuh jarak kurang lebih 40 km.
Sebagai masyarakat yang hidupnya selalu bergantung kepada kekayaan alam. Masyarakat Arfak mengetahui batasan atas kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati. Interaksi masyarakat dengan lingkungan yang terus-menerus, mampu membentuk suatu pengalaman. Pengalaman tersebut diwariskan secara turun-temurun kepada anak cucu hingga menghasilkan sebuah tradisi. Nilai tradisi inilah yang mereka terapkan dalam kegiatan sehari-hari termasuk dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Dari tradisi tersebut terkandung pengetahuan tradisional terkait aturan menjaga alam (konservasi).
Dalam aktivitas mengelola sumber daya alam, masyarakat Arfak mengelompokkan suatu kawasan ke dalam empat bagian, yaitu Am piabea (wilayah lembab), Nuhim (wilayah antara panas dan dingin), Reshim (wilayah pasang surut air laut), dan Mukti (wilayah pesisir) Masing-masing sub suku Arfak, memiliki keunikan sendiri dalam hal memanfaatkan alam.
Suku Hatam Menjaga Alam
Kawasan hutan dibagi menjadi 4 (empat) bagian oleh Masyarakat Arfak terutama oleh Suku Hatam, yakni Susti, Bahamti, Nimahamti, dan Tumti. Susti ialah suatu kawasan yang dipergunakan sebagai tempat tinggal maupun berkebun. Nimahamti merupakan kawasan hutan yang terkhusus dimanfaatkan kayunya, tetapi harus dengan persetujuan kepala suku (andigpoi). Sedangkan Bahamti adalah hutan berlumut dan Tumti ialah bagian puncak gunung. Suku Hatam mengenal semboyan igya ser hanjob. Dimana terlihat dari kepatuhan masyarakat kepada pemimpin adat dalam pengambilan keputusan termasuk mengelola hutan. Mereka menganggap hutan sebagai dapur hidup atau ibu yang memberi makanan (ayamfos).
Suku Moile Bersama Rumah Ibeiya
Rumah tradisional Suku Arfak memiliki ciri khas berupa penggunaan kayu dalam jumlah yang banyak. Sehingga dilambangkan dengan kata ‘seribu’ atau rumah kaki seribu. Ibeiya merupakan rumah tradisional Suku Moile, sedangkan Suku Hatam menyebutnya sebagai Iymama. Serta Suku Sough mengenalnya sebagai Tu misen.
Sejak tahun 2012, Ibeiya hanya didiami oleh generasi tua akibat pengaruh perkembangan zaman. Namun dalam proses pembangunannya, semua orang lintas generasi akan terlibat. Sebelum mencari bahan bangunan di hutan, Suku Moile mengawalinya dengan sebuah ritual khusus. Dari tua hingga muda akan berbondong-bondong mengikuti arahan tetua adat mengucapkan doa-doa saat proses pengambilan kayu.
Kayu yang akan diambil tidak langsung ditebang, tetapi terlebih dahulu memotong daun-daun pada pohon. Kemudian pohon tersebut ditinggal selama satu hingga dua bulan lamanya, sebelum pada akhirnya pohon boleh ditebang. Mereka beralasan bahwa proses ini bertujuan untuk mencegah tanah dari erosi atau longsor. Sesungguhnya, konsep konservasi terlihat dari kegiatan pembangunan Ibeiya ini. Tatkala pohon dibuang daunnya, ia perlahan akan mati layu hingga akar pohon melemas dari tanah. Alhasil proses penebangan pohon diharapkan tidak merusak tanah.
Mostogow Hanjob Suku Sough
Mastogow hanjob (Bahasa Sough) memiliki arti menjaga batas. Apabila dikaitkan dengan aspek konservasi, filosofi masyarakat yang menganggap hutan sebagai ibu. Dimana seorang ibu akan memberikan air susu untuk anaknya. Menyebabkan pemaknaan hutan bagi Masyarakat Sough tidak hanya sebatas menggunakan kekayaannya saja. Namun masyarakat berupaya menjaga hutan agar generasi selanjutnya juga dapat menikmati sumber daya alam. Sehingga dalam kegiatan pemanfaatan hutan, Masyarakat Sough sangatlah bijaksana dan tidak berlebihan (eksploitatif).
Suku Meyah dan Kearifannya
Masyarakat Suku Meyah memiliki aturan adat dalam mengelola hutan, yang disebut sebagai Ig ya ser. Arti Ig ya adalah berdiri dan ser bermakna menjaga. Secara keseluruhan, Ig ya ser dapat diartikan sebagai berdiri menjaga. Dimana yang dimaksud ialah menjaga suatu kawasan termasuk lingkungan. Masyarakat Suku Arfak, terkhusus Suku Meyah sangat tergantung kepada alam sebagai penyedia sumber daya bagi kegiatan ekonomi dan sosial budaya. Seperti berburu binatang liar (ntteisi), berladang atau berkebun, dan pemanfaatan kayu. Sehingga semangat Ig ya ser Suku Meyah tercerminkan dalam aktivitas memanfaatkan alam dengan tetap memperhatikan kelestariannya.
Cara Masyarakat Arfak Memelihara Hutan
Apa yang terlintas dibenak kita saat mendengarkan kata ‘hak ulayat’?
Saat membicarakan hak ulayat, maka kita sedang mengulas tentang hak atas kepemilikan. Selain itu, juga sering disebut sebagai hak patuanan (pemilik tanah atau pewaris negeri pribumi). Dari pengertian inilah yang membuat banyak orang seakan mempermasalahkan pemanfaatan hutan oleh masyarakat adat. Atas dasar ini, banyak pula pihak yang menganggap masyarakat adat sebagai pelaku utama kerusakan hutan.
Sesungguhnya dalam menjaga kelestarian alam, sangatlah bergantung kepada partisipasi masyarakat lokal. Seperti slogan sebuah kelompok peduli lingkungan, ”Think Globally and Act Locally”, yang artinya berpikir secara global (menyeluruh) dan bertindaklah (berperilaku) secara lokal. Sehingga tradisi dan adat kebiasaan masyarakat lokal dalam memelihara lingkungan mutlak diperlukan. Hal ini juga disetujui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, “keberadaan masyarakat adat dalam konteks konservasi sumber daya hutan menjadi salah satu entitas yang penting dalam pengelolaan kawasan konservasi yang berkeadilan dan berkelanjutan”.
Selama ini pemahaman mengenai konservasi hanya sebatas kepada perlindungan, sedangkan makna memanfaatkannya kurang memadai. Sebenarnya makna konservasi ialah memanfaatkan secara optimal dengan tetap memerhatikan kebijaksanaan.
Pada umumnya, masyarakat Papua menganggap bahwa suatu daerah di hutan memiliki kekuatan magis. Ada beberapa tempat yang disakralkan oleh penduduk desa, sehingga aktivitas berburu hanya diperbolehkan pada daerah tertentu saja. Kepercayaan yang tetap eksis ini mengindikasikan bahwa tempat tertentu harus dilindungi dan tidak boleh diganggu karena tempat berdiamnya arwah nenek moyang mereka. Ciri khas tempat yang dilindungi antara lain daerah aliran sungai, perbukitan tertentu dan kawasan pepohonan besar.
Masyarakat Arfak juga sangat menjaga keberadaan beberapa spesies burung endemik seperti cenderawasih belah rotan (Cicinnurus magnificus), cenderawasih hitam (Porotia sefillata), dan burung pintar (Amblyornis inornata). Sehingga beberapa praktik ini menunjukkan bahwa masyarakat menganut konsep konservasi versi lokal yang tetap dipertahankan hingga saat ini. Termasuk pula saat beraktivitas di tengah pandemi yang masih berlangsung.
Daftar Referensi:
Andriansyah, A. 2020. Tokoh Adat Papua serukan kearifan lokal untuk tangani corona. https://www.voaindonesia.com/a/tokoh-adat-papua-serukan-kearifan-lokal-untuk-tangani-corona-/5458989.html. Diakses pada 29 Maret 2021.
Asmuruf, M. A., R. H. Purwanto, dan L. R. W. Faida. 2017. Rehabilitasi hutan dan lahan berdasarkan kearifan lokal Suku Moile dan Suku Meyah di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. Jurnal Manusia dan Lingkungan. 24 (3):141-147,
Deda, A. J. dan S. S. Mofu. 2014. Masyarakat hukum adat dan hak ulayat di Provinsi Papua Barat sebagai orang asli Papua di tinjau dari sisi adat dan budaya; sebuah kajian etnografi kekinian. Jurnal Administrasi Publik. 11 (2): 11-22.
Dhewy, A. 2017. Konservasi harus memerhatikan kearifan lokal masyarakat adat. http://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/konservasi-harus-memerhatikan-kearifan-lokal-masyarakat-adat. Diakses pada 29 Maret 2021.
Hematang, Y. I. P., E.Setyowati, dan G. Hardiman. 2014. Kearifan lokal Ibeiya dan konservasi arsitektur vernakular Papua Barat. Indonesian Journal of Conservation. 3 (1): 16-25.
Novrizal. 2016. Masyarakat adat dan konservasi sumber daya hutan. https://www.menlhk.go.id/site/single_post/1173. Diakses pada 29 Maret 2021
Pattiselanno, F., J. Manusawai, A. Y. S. Arobaya, dan H. Manusawai. 2015. Pengelolaan dan konservasi satwa berbasis kearifan tradisional di Papua. Jurnal Manusia dan Lingkungan. 22 (1): 106-112.
Rumperiai, M. G. 2020. Etnobotani pencegahan Corona Virus Disease (Covid-19) menurut Tradisi War Wen Suku Kurudu Provinsi Papua. Prosiding Seminar Nasional V 2019 Peran Pendidikan dalam Konservasi dan Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan. 308-315.
Salosa, S. T., S. A. Awang, P. Suryanto, dan R. H. Purwanto. 2014. Hutan dalam kehidupan Masyarakat Hatam di lingkungan Cagar Alam Pegunungan Arfak. Jurnal Manusia dan Lingkungan. 21 (3): 349-355.
Ungirwalu, A., A. Y. S. Arobaya, M. J. Tokede, M. H. Peday, D. A. Padang, S. Tasik, Z. Mardiyadi, B. M. G. Sadsoetoeboen, dan O. P. Matani. 2019. Konstruksi etnoteknokonservasi Burung Pintar (Amblyornis Inornata) di kawasan Cagar Alam Pegunungan Arfak. Igya Ser Hanjop. 1 (1): 1-9