AKULTURASI MASYARAKAT PAPUA

Tulisan ini merupakan hasil review dari jurnal berjudul “Akulturasi masyarakat lokal dan pendatang di Papua Barat” yang terbit dalam Jurnal Antropologi Isu Isu Sosial Budaya tahun 2019 karya Raisa Anakotta, Alman dan Solehun.

Topik yang diangkat dalam jurnal tersebut adalah akulturasi budaya di Papua Barat. Lokus penelitian dilakukan pada Suku Kokoda dan Suku Fak-fak Papua Barat. Penelitian yang dilakukan dilatar belakangi oleh pandangan bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki budayanya masing-masing. Indonesia sebagai negara dengan keragaman masyarakatnya yang tinggi dan mobilitas yang tinggi pula akan menyebabkan adanya interaksi budaya sehingga percampuran budaya menjadi tidak terelakkan. Penelitian ini akan mengidentifikasi akulturasi masyarakat Papua Barat. Setidaknya ada 8 teori penting yang mengontruksi jurnal tersebut, yaitu:

  1. Akulturasi adalah perpaduan dua atau lebih budaya yang bersinergi untuk saling menjembatani karakter kedua budaya atau budaya yang beragam.

  1. Substitusi merupakan akulturasi yang berupa berubahnya budaya lama akibat diganti dengan budaya baru yang lebih bermanfaat bagi masyarakat

  1. Sinkretisme merupakan akulturasi yang berupa percampuran unsur budaya lama dengan unsur budaya baru sehingga membentuk sistem budaya yang baru.

  1. Adisi merupakan akulturasi yang berupa perpaduan unsur budaya lama dengan yang baru (saling melengkapi) sehingga memberikan nilai tambah bagi masyarakat.

  1. Dekulturasi merupakan akulturasi yang berupa hilangnya budaya lama karena tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan sehingga diganti dengan budaya baru.

  1. Originasi merupakan akulturasi yang berupa masuknya budaya yang sama sekali baru dan tidak dikenal sebelumnya sehingga menyebabkan perubahan sosial yang signifikan di masyarakat.

  1. Rejeksi merupakan akulturasi yang berupa penolakan dari anggota masyarakat yang tidak berkenan menerima budaya baru yang dianggap dapat menimbulkan perubahan ke arah negatif.

  1. Suku-suku asliPapua Barat sendiri terdiri dari Suku Doreri, SukuKuri, Suku Simuri, Suku Irarutu, Suku Sebyar,Suku Moscona, Suku Mairasi, Suku Kambouw,Suku Onim, Suku Sekar, Suku Maibrat, SukuTehit, Suku Imeko, Suku Moi, Suku Tipin, SukuMaya, Suku Bintuni, Suku Demta, Suku Genyem,Suku Guai, Suku Hattam, Suku Jakui, SukuKapauku, Suku Kiman, Suku Mairasi, SukuManikion, Suku Mapia, Suku Marindeanim, SukuMimika, Suku Moni, dan masih banyak suku.

Adapun temuan penting dari hasil penelitian yang diungkap dalam jurnal tersebut setidaknya dapat ditarik menjadi 7 temuan utama yaitu:

  1. Pakaian adat yang menjadi ciri khas sukuFak-fak dan Kokoda adalah cawat (kain merahatau kain putih) bagi laki-laki sementara bagikaum wanita Kokoda pakaian adatnya berupa kain kain rumput dan bagi kaum wanita Fak-fakberupa ‘dari’ atau kain dan baju kurung.

  1. Ritual suku kokoda: (1) penyambutan tamu terhormat (penabuhan tifa gong, tarian goyang panta dan digigit oleh tetua suku). (2) Mendirikan bangunan (batu pertama oleh tetua, menyediakan pinang dan sirih, pemotongan dan penguburan ayam putih). (3) Terkena musibah (menaman tiang/tanaman ditempat terkena musibah dan hasilnya diberikan pada pemilik tanah).

  1. Ritual suku fak-fak: (1) pernikahan (anggota keluarga dikumpulkan untuk mengumpulkan harta yang dipimpin oleh tetua dan menabuh gong, biasa disebut tombokmar. (2) Pemukulan gong (menandai berbagai acara seperti minum kopi dan kematian).

  1. Kekerabatan fak-fak dan juga kokonda masih tinggi dengan masih digunakannya nama marga sebagai identitas Bberapamarga yang ada di Fak-fak seperti Patira, Kabes,Hindom, Tuturu, Nurtonggo, Hegemur, Genuni,Heremba, Bau, dan masih banyak lagi.

  1. Interaksi sosial kokoda tergolong tertutup, mereka kurang menerima hal-hal baru, kurang berpartisiasi terhadap ilmu-ilmu baru dari luar yang diberikan oleh orang luar. Suku fak-fak menganggap semua orang adalah bersaudara dengan prinsip setungku tiga batu.

  1. Suku kokonda dalam aktivitas beragama lebih memilih menyendiri dengan kelompoknya, kurang membaur dengan pendatang. Suku fakfak lebih terbuka dan menjalani aktivitas beragama dengan penuh toleransi.

  1. Akulturasi menyebabkan generasi muda kurang mengerti esensi kebudayaannya karena sudah tidak merasakan langsung hanya melalui penuturan-penuturan. Akulturasi juga telah menguatkan toleransi dalam kehidupan masyarakat.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari jurnal tersebut adalah bahwa Enam jenis akulturasi terjadi di kedua suku yang diidentifikasi baik di tataran pakaian adat, ritual, kekerabatan, interaksi sosial dan aktivitas beragama. (MT)