TWA SORONG: MASYARAKAT DAN BUDAYANYA SERI MASYARAKAT SRAHWATA

Gambaran umum

Papua dan Papua Barat merupakan salah satu laboratorium budaya yang nyata di Bumi Nusantara. Semakin menjadi unik adalah wilayah Bumi Cenderawasih ini masih memiliki hutan yang cukup luas. Khususnya di Papua Barat, setidaknya memiliki kawasan konservasi mencapai 1,7 juta ha. Dengan kondisi tersebut, interaksi dan relasi antara masyarakat, budaya dan hutan tidak dapat dipisahkan dan menjadi kelebihan tersendiri dari keunikan masyarakat Tanah Papua. Untuk itu, mempelajari seluk beluk tentang masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan konservasi di Papua Barat menjadi menarik. Berikut ini disajikan gambaran Masyarakat Srahwata yang tinggal berdampingan dengan TWA Sorong.

Masyarakat Srahwata adalah masyarakat yang tinggal di Kampung Srahwata. Kampung Srahwata sendiri adalah salah satu Kampung di Km.17 dari Kelurahan Klablim Distrik Klaurung yang lokasinya bersinggungan dengan kawasan TWA Sorong. Walaupun Kampung Srahwata berada pada lokasi yang sangat dekat dengan TWA Sorong, namun masyarakatnya peduli dalam menjaga kelestarian dan tidak memberikan dampak negatif terhadap sumber daya alam di dalam TWA Sorong.

Sejarah Kampung Srahwata

Masyarakat mulai membuka hutan untuk dijadikan Kampung Srahwata sejak tahun 2001 dengan diawali pembelian tanah ulayat secara kelompok dari Bapak Dominggus Osok seluas 4 hektar yang dianggap sebagai tanah ex-TWA karena yang bersangkutan pernah memenangkan gugatan di Pengadilan Negeri Sorong tahun 1999. Pembelian tanah diwakili oleh Bapak Paulinus Korain dan Bapak Simon Korain yang keduanya mewakili masyarakat memperoleh surat bukti pelepasan tanah adat masing-masing seluas 2 hektar.

Setelah mendapatkan pelepasan tanah adat, 19 orang secara bersama-sama bergotong royong membuka hutan diatas tanah adat tersebut. Kesembilanbelas orang tersebut adalah:

  1. Paulinus Korain
  2. Simon Korain
  3. Sakarias Korain
  4. Kosmas Yumte
  5. Karel Hara
  6. Theodorus Koso
  7. David Siwiya
  8. Marta Siwiya
  9. Iventus Taa
  10. Januarius Kinigum
  11. Saloneka Atanae
  12. Hirenemus Korain
  13. Kosmas Korain
  14. Satur Taa
  15. Yakobus Korain
  16. Donison Mangangue
  17. Darius Taa
  18. Vinzen Kocu
  19. Servo Korain

Bapak Paulinus Korain dan Bapak Simon Korain sebagai pihak yang mendapatkan pelepasan tanah keduanya diangkat sebagai tetua kampung dengan pembagian wilayah sebelah kanan jalan seluas 2 ha adalah dibawah kekuasaan Bapak Paulinus Korain dan sebelah kiri jalan seluas 2 ha adalah di bawah kekuasaan Bapak Simon Korain. Keduanya memiliki kekuasaan yang sama dalam mengatur kehidupan sosial masyarakat sekaligus mengatur hubungan masyarakat dengan tanahnya. Masyarakat memiliki kewajiban menaati segala perintah dan keputusan dari kedua orang tersebut.

Salah satu kebijakan yang diambil oleh kedua tetua kampung tersebut adalah masyarakat tidak diperbolehkan memperjualbelikan tanah bersama seluas 4 ha di kampung tersebut walaupun dalam kenyataannya tanah tersebut telah dibagi atas nama individu-individu. Masyarakat hanya diperbolehkan memakai tanah tersebut untuk dipergunakan untuk tempat tinggal dan budidaya namun tidak diperkenankan untuk menjual. Segala hal yang berhubungan dengan penggunaan tanah harus sepengetahuan dan izin dari tetua kampung tersebut.

Kampung Srahwata dan Potensinya

  1. Sumberdaya alam

Secara umum potensi sumber daya alam di Kampung Srahwata adalah flora fauna yang tersebar di dalam TWA Sorong. Hal tersebut dikarenakan posisi Kampung Srahwata yang berdampingan dengan TWA Sorong bahkan menurut versi legal berada di dalam kawasan. Masyarakat yang memiliki latar belakang petani dan pekebun, sangat erat dengan keberadaan sumber daya alam disekitarnya sehingga keberadaan TWA Sorong turut menopang kehidupan masyarakat setempat. Kondisi hutan disekitar kampung masih tergolong alami, heterogen dan tutupannya masih baik. Burung-burung endemik juga masih cukup mudah untuk ditemui disekitar perkampungan.

  1. Aktivitas masyarakat

Pada umumnya mata pencaharian masyarakat Kampung Srahwata adalah sebagai petani/pekebun. Beberapa hasil bumi yang dari hasil bertani/berkebun masyarakat diantaranya:

  1. Kasbi/ ketela
  2. Pisang
  3. Ubi Jalar
  4. Pinang
  5. Durian
  6. Jambu
  7. Rambutan
  8. Tebu
  9. Cempedak
  10. Matoa
  11. Markisa
  12. Aren
  13. Mangga
  14. Pepaya

Selain untuk konsumsi, sebagian hasil bumi dijual oleh masyarakat di lapak pinggir jalan atau di pasar.

Masyarakat yang tinggal di Kampung Srahwata pada umumnya mengolah lahan untuk bertani/berkebun dengan sistem babat-bakar. Tumbuhan yang tidak digunakan pada lokasi yang akan dijadikan kebun terlebih dahulu akan dibabat oleh masyarakat supaya mati dan mengering. Bekas tumbuhan yang telah mengering kemudian dikumpulkan dan kemudian dilakukan pembakaran. Hasil pembakaran berupa abu pembakaran diratakan ke seluruh area lahan selama kurang lebih 3 hari sebagai pupuk lahan. Setelah 3 hari, barulah lahan tersebut digunakan untuk ditanamani tanaman tertentu sesuai kebutuhan masyarakat.

Masyarakat telah mengetahui batas-batas pemilikan tanah di kampungnya dengan dibatasi patok batas dan tanaman-tanaman tertentu. Pemilikan dan penggunaan tanah juga harus sepengetahuan tetua kampung. Terdapat pagar batas kawasan di belakang kampung, masyarakat mengakui itu sebagai batas kawasan TWA sehingga dalam melakukan aktivitas bertani/berkebun, masyarakat tidak masuk ke dalam area dalam pagar dan cenderung turut serta menjaganya.

  1. Cipta karya (makanan, kerajinan dan tarian tradisional)

Kegiatan yang bernuasa adat di Kampung Srahwata biasanya terkait dengan penyambutan orang penting, pesta pernikahan, perayaan hari besar atau pesta ulang tahun. Setidaknya terdapat 2 aktivitas tradisional yang tidak lepas dalam acara tersebut yaitu makanan tradisional dan tarian tradisional.

Makanan tradisional yang umum disajikan oleh Masyarakat Kampung Srahwata dalam kegiatan yang bernuansa adat adalah “makanan bakar bambu”. Makanan bakar bambu adalah makanan yang dalam pengolahannya dimasukkan ke dalam bambu dan dibakar diatas bara api.

Bahan yang dimasukkan ke dalam bambu diantaranya kasbi sebagai makanan pokoknya dan campuran seperti daun pakis, daun gohi, bambu muda dan daging sebagai pelengkapnya. Bahan makanan tersebut akan dimasukkan terlebih dahulu di dalam bambu, ditutup ujung-ujung bambunya kemudian akan dibakar hingga matang. Bambu yang telah layu dan menunjukkan tingkat kematangan tertentu akan dipisahkan dan kemudian dibelah untuk diambil isinya. Makanan bakar bambu umumnya akan disajikan diatas daun besar dan dimakan bersama sama. Siapapun yang disuguhkan makanan tersebut tidak boleh menolak dan harus bersedia memakannya sebagai wujud kebersamaan dan keberterimaan terhadap masyarakat. Selain makanan bakar bambu, makanan khas lainnya yang biasa dibuat oleh masyarakat setempat adalah makanan olahan sagu seperti Sinole, Porno, Embal, Kue Sagu dan Papeda.

Disamping disuguhi dengan makanan khas, dalam kegiatan yang bernuansa adat atau perayaan, masyarakat kampung srahwata umum menyuguhkan tarian tradisional yaitu tarian yosim dan tarian dansa. Tarian Yosim adalah tarian untuk menyambut tamu. Biasanya beberapa masyarakat akan berpakaian tradisional Papua dan akan berjajar di pinggir jalan dengan diiringi alat musik seperti tifa. Tarian dansa adalah tarian dalam acara perayaan-perayaan dengan gerakan melompat-lompat dan bergandengan tangan satu dengan lainnya. Dansa pada umumnya dibarengi dengan lagu-lagu tertentu yang bernada kegembiraan.

Beberapa masyarakat juga memiliki keahlian dalam membuat kerajinan-kerajinan khas Papua diantaranya adalah membuat topi, noken, manik-manik dan gelang. Kerajinan topi yang dapat dibuat oleh masyarakat setempat adalah topi model koboi dengan berbahan dasar rotan. Noken adalah tas tradisional masyarakat Papua. Tas tersebut umumnya dibuat dengan kulit kayu atau benang sesuai dengan selera dan kebutuhan pembeli. Manik-manik terbuat dari kerang dan karang laut dengan dirangkai sedemikian rupa sehingga dapat menjadi kalung dan gelang yang cantik. Gelang dibuat menggunakan kayu pohon. Batang atau ranting pohon dibentuk menjadi bentuk gelang, dihaluskan dan diukur menjadi gelang yang indah untuk dipakai. (MTO)