Noken: Kearifan Lokal dan Pemberdayaan Masyarakat
Susweni, Pengawal Gunung Meja
Kota Injil adalah julukan untuk Manokwari, ibu kota provinsi Papua Barat. Nama itu diberikan berdasarkan cerita panjang sejarah perkembangan Injil di Irian Jaya, bermula dari kerja keras Pendeta Groessner dan Heldring di Jerman, yang giat mengirimkan penginjilnya ke daerah tropis termasuk Irian Jaya yang sangat membutuhkan uluran tangan mereka. Pada tanggal 25 juli 1852 mereka mengutus C.W. Ottow dan J.G.Gleissler mengawali misi penginjilannya dari Kota Berlin melewati Kota Hemmen (Belanda). Pada masa itu Irian Jaya masih berada di bawah pengaruh Kerajaan Ternate, Tidore dan Bacan. Kedua penginjil itu memilih Ternate sebagai tempat tujuan sebelum masuk ke Irian Jaya. Tanggal 5 Februari 1855, mereka mendaratkan kakinya di Pulau Mansinam di Teluk Doreri. Dari pulau di Manokwari inilah kemudian berita Injil tersebut diberitakan ke seluruh daratan Irian Jaya. Mengenang asal mula pekabaran Injil di Papua, maka tanggal 5 Februari secara khusus ditetapkan sebagai hari memperingati Injil masuk Papua.
Manokwari terletak di pantai utara daerah kepala burung pulau, merupakan salah satu kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi di Papua Barat setelah Kota Sorong. Dari Teluk Doreri tampak bentangan hutan yang indah memanjang di tengah Kota Manokwari, hutan itu adalah Taman Wisata Alam Gunung Meja. TWA berupa hutan primer di dalam Kota Manokwari tersebut ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam pada tahun 2012 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.91/Menhut-II/2012 tanggal 03 Februari 2012.
Penetapan Kawasan TWA Gunung Meja memiliki sejarah yang cukup panjang, bermula dari gagasan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1953 yang menilai bahwa Gunung Meja memiliki nilai penting bagi umat manusia khususnya dalam pemenuhan kebutuhan air bersih masyarakat Manokwari. Dalam rangka pemanfaatan fungsi hidrologi tersebut, pada tahun 1957 perusahaan air minum daerah (PDAM) Manokwari menggagas untuk memasang pipa dari sumber mata air di Gunung Meja ke daerah Kuawi dan Fanindi Ujung. Kemudian pada tahun 1959, Pemerintah Hindia Belanda juga mendorong Kawasan Hutan Lindung Hidrologis Gunung Meja untuk perlindungan satwa. Namun pengelolaan fungsi hutan lindung Gunung Meja tersebut belum sempat terwujud karena situasi politik yang mengharuskan Pemerinah Hindia Belanda meninggalkan Nederland New Guinea (Tanah Papua) dan menyerahkan kekuasaannya di Tanah Papua ke Pemerintah Republik Indonesia. Kemudian pada tahun 1980 sampai sekarang dengan tetap memperhatikan fungsi hidroorologinya pemerintah menetapkan Hutan Lindung Gunung Meja sebagai hutan wisata. Namun demikian hingga saat ini masyarakat di sekitar kawasan menyebut TWA Gunung Meja sebagai “hutan lindung” ada pula yang menyebut “tanah kehutanan”.
Kisah saya mendampingi masyarakat di kampung sekitar TWA Gunung Meja dimulai di Kampung Susweni. Kampung ini merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang berjarak hanya sekitar 200an meter dari TWA Gunung Meja. Kampung Susweni didominasi oleh keluarga besar marga Mandacan – Meidodga, Suku Meyah (sub suku besar Arfak). Susweni terletak di sebelah timur kawasan TWA Gunung Meja, dan secara administrasi terletak di Distrik Manokwari Timur, Kabupaten Manokwari.
Kampung Susweni hanya berjarak sekitar 11 kilometer dari Bandar Udara Rendani dan dapat ditempuh dalam waktu sekitar 25 menit menggunakan kendaraan bermotor. Aksesibilitas menuju kampung cukup mudah dapat ditempuh, bahkan dengan angkutan umum berupa ojek dengan biaya sekitar Rp 25.000,-. Perjalanan menuju Susweni dari arah Bandara Rendani dapat dilalui dengan 2 alternatif jalan yaitu melalui Amban-Anggori atau melalui akses terdekat yaitu melalui jalan Brawijaya-Ayambori. Jika diperhatikan pada peta, maka kedua akses jalan menuju kampung merupakan jalan yang mengitari kawasan TWA Gunung Meja.
Asa Bersama KTH Kupu Kupu Susweni
Terletak berdekatan dengan TWA Gunung Meja menjadikan kampung Susweni sebagai salah satu daerah penyangga kawasan konservasi. Hal ini menjadi salah satu dasar kampung ini menjadi salah satu kampung binaan Balai Besar KSDA Papua Barat di Manokwari. Nama asli Kampung Susweni adalah Bori yang berasal dari akar tumbuhan Bori. bori merupakan tumbuhan uang banyak tumbuh di daerah ini sehingga nenek moyang Hatam Molley menyebut kampung Bori, sementara Susweni adalah nama salah satu sungai yang mengaliri kampung yang menjadi sumber air bagi masyarakat.
Balai Besar KSDA Papua Barat memulai kegiatan pemberdayaan masyarakat di Kampung Susweni pada tahun 2018. Setelah melakukan serangkaian penjajagan, pada tahun itulah dibentuk kelompok tani hutan, yang diberi nama KTH Kupu Kupu Susweni. Menyadari bahwa pengelolaan wilayah masyarakat berbasis hak ulayat, maka kegiatan pemberdayaan masyarakat di kampung sekitar TWA Gunung Meja, termasuk di Susweni, diawali dengan pertemuan yang menghadirkan tokoh-tokoh kunci yakni pemilik hak ulayat di sekitar TWA Gunung Meja untuk memetakan batas-batas wilayah adat.
Meskipun didominasi oleh Orang Asli Papua (OAP) di Kampung Susweni juga terdapat kelompok masyarakat pendatang yang berasal dari Sulawesi dan Jawa. Masyarakat kampung memiliki mata pencaharian yang cukup beragam sebagai petani, pedagang, pegawai negeri dan karyawan swasta. Sebagian besar masyarakat memiliki mata pencaharian sebagai petani dengan hasil kebun berupa sayur-sayuran seperti sawi, kangkung, terong, rica/cabe dan buah-buahan seperti rambutan dan langsat. Selain bertani, beberapa masyarakat kampung memiliki keterampilan yang diwariskan secara turun temurun yaitu membuat kerajinan noken papua. Sebelum saya bercerita banyak tentang noken papua, saya ingin berbagi bagaimana saya ‘berhubungan’ dengan kampung ini.
Sebagai orang “amber” di tanah Papua, bahasa merupakan salah satu tantangan terbesar saya apalagi sebagai penyuluh yang dituntut untuk membangun komunikasi dengan kelompok binaan. Berada di wilayah dengan etnis suku yang beragam memuculkan banyak bahasa ibu yang merupakan bahasa sehari-hari masyarakat kampung. Di kampung susweni yang didominasi dengan kelompok sub suku besar Arfak yaitu meyah menjadikan bahasa meyah sebagai bahasa sehari-hari. Saya pun mulai dengan kata-kata sapaan seperti acem jebjo yang dalam bahasa Indonesia berarti selamat
Kegiatan aktualisasi latsar menjadi sarana pertemuan pertama saya dengan masyarakat kampung susweni. Perjalanan menuju kmpung saya tempuh dengan sepeda motor selama 20 menit perjalanan. Meskipun berada di dalam wilayah kabupaten Manokwari yang notabene ibu kota provinsi Papua Barat tidak berarti jalan menuju kampung selalu ramai, dari tengah kota jalan cukup ramai Ketika mencapai jalan sarinah yang merupakan jalan yang membelah kawasan jalan cukup sepi hingga tiba di kampung selain itu, dalam perjalanan acap kali saya bertemu dengan masyarakat yang sedang mabuk, tak pelak kami pun sering dipalak dengan berbagai alasan kebutuhan mereka, inilah menjadi alasan apabila saya berkunjungan ke desa binaan selalu ditemani dengan staf polhut atau staf PEH yang memastikan keamanan saya selama melaksanakan tugas di lapangan.
Ketika pertama kali bertandang di kampung merupakan keharusan untuk terlebih dahulu menjumpai kepala kampung yang juga merupakan pemilik hak ulayat di kampung Susweni, kedatangan saya dan rekan disambut hangat oleh kepala kampung dan masyarakat Susweni namun pada saat itu saya belum bertemu dengan seluruh anggota KTH, beberapa dari mereka sedang sedang berada di kebun. Saya mencoba membangun keakraban dengan masyarakat kampung dengan sesekali menggunakan dialek papua yang telah saya pelajari sebelumnya tidak lupa saya juga membawa sirih pinang sebagai bahan kontak untuk masyarakat yang saya jumpai, bagi masyarakat Papua meskipun tidak seluruhnya sirih pinang telah menjadi makanan ringan yang dikonsumsi oleh orang asli papua sehari-hari. Pada pertemuan kali itu saya berkesempatan mewawancarai beliau, kebetulan bentuk kegiatan aktualisasi saya pada saat itu yaitu survei pengetahuan dan persepsi masyarakat penyangga mengenai kawaasan konservasi TWA Gunung Meja, wawancara saya seolah mengenang kembali masa pemerintahan belanda di Papua pada saat itu dimana di masa perang dahulu Gunung Meja merupakan benteng perlindungan pasuka Belanda dari serangan musuh hal ini dibuktikan dengan beberapa gua buatan yang ditemukan di dalam gunung meja yang membentuk terowongan seperti sebuah akses jalan bawa tanah.
“Gunung Meja ini Kehutanan punya, dulu waktu Bapa masih kecil Bapa pu tempat main, dulu banyak burung di sini, Yakob, Urip, Bayan juga tapi sekarang su kurang banyak yang tembak jadi dong su lari ke dalam-dalam. Dulu Gunung Meja ni kitong pu tempat cari kayu bakar”
Wawancara yang saya lakukan di pondok jualan tepat di samping rumah kepala kampung yang berada di pinggir jalan membuat saya dapat bertemu dengan beberapa anggota KTH, pada waktu itu saya mengenal Bapak Efradus yang merupakan salah satu orang tua di Kampung Susweni dan menantu kepala kampung Petrus yang merupakan anggota MMP (Masyarakat Mitra Polhut) Gunung Meja.
Sejak tragedy kebakaran di Brawijaya banyak orang papua maupun pendatang yang menetap di Kampung Susweni. Kelompok suku pendatag didominasi oleh orang buton. Di Kampung Susweni orang buton gemar menanam holtikultur, mereka membeli atau menyewa sebidang tanah milik kepala kampung untuk dijadikan tanaman holtikultur seperti cabe/rica, tomat dan jenis sayur-sayuran sawi, dan terong. Mereka hidup berdampingan dengan damai Bersama OAP.
Tidak ada sejengkal tanah di Papua yang tidak bertuan ungkapan ini menggambarkan kepemilikan tanah di papua berdasarkan hak ulayat marga. Setiap batas hak ulayat diberi tanda yang diajarkan kepada anak cucu mereka. Tidak luput Gunung Meja meskipun merupakan satu-satunya kawasan konservasi di Indonesia yang dibeli oleh negara tidak menampik adanya klaim hak ulayat atas area kawasan konservasi.
Sistem pertanian masyarakat yaitu dengan tebas bakar, mereka membuka lahan dengan menebang semua pepohonan dan semak kemudia menyemprot dengan herbisida dan kemudian membakar semak yang telah mati, batang pepohonan digunakan sebagai kayu bakar sedangkan ranting-ranting pepohonan digunakan sebagai ajir. Pada lahan-lahan ulayat masyarakat ditanami dengan tanaman buah-buahan seperti rambutan dan langsat pada musim panen masyrakat akan memberikan rambutan dan langsat dalam kunjungan kami ke kampung. Lahan yang dekat dari rumah ditanamani sayur-sayuran seperti kangkung cabut, sawi, cabe/rica, kasbi/singkong, betatas/ubi jalar dan keladi. Kasbi (Ubi singkong) Betatas (Ubi jalar) dan keladi menjadi makanan pokok pengganti beras, yang telah dikonsumsi sejak turun-temurun.
Menyusuri jalan utama di kampung pengunjung akan disuguhkan dengan pondok-pondok kecil yang berada di depan rumah. Pondok sederhana tempat masyarakat menjajakan hasil kebun mereka jika tak sempat untuk menjual ke pasar. Di pondok kita dapat menemukan pinang dan sirih yang dijual setumpuk-setumpuk dengan harga 5.000 hingga 20.000 per tumpuk demikian dan sayur-sayuran dan buah-buahan yang dijual perikat tentunya lebih segar karena langsung dipetik dari kebun. Pondok jual juga merupakan tempat untuk menjajakan noken yang dipajang dengan cara digantung sehingga konsumen dapat mengamati langsung bentuk dan ukuran nokennya. Masyarakat yang menjual hasil kebun di pasar akan menggunakan ojek untuk membawa barang dagangan yang telah dimasukkan ke dalam noken atau pun keranjang, jarak antara kampung dan pasar terdekat yaitu pasar sanggeng sekitar 5 km dengan ongkos ojek sekitar 15.000 hingga 20.000 tergantung padaa banyaknya barang jualan penumpang. Tidak hanya Pasar kadang kala masyarakat menjual di depan emperan pertokoan yang berada di jalan-jalan utama di dalam kota.
Sebagai kawasan hutan yang berada di dekat kampung menimbulkan beberapa interaksi masyarakat terhadap kawasan, dulunya masyarakat memanfaatkan kayu yang berukuran tiang sebagai bahan untuk membuat rumah kini masyarakat tidak lagi memanfaatkan kayu dari TWA Gunung Meja namun masih terdapat pengambilan secara illegal. Masyarakat mempercayai bahwa sumber-sumber air yang terdapat di kampung berasal dari TWA Gunung Meja.
Tahun 2018 melalui kegiatan pembentukan KTH yang diprakarsai oleh BBKSDA Papua Barat dibentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) di 3 (tiga) desa binaan di Manowkari yaitu Kampung Ayambori, Kampung Insirifuri dan Kampung Susweni. Penetapan desa binaan dilakukan dengan memperhatikan batas-batas hak ulayat kelompok marga yang berada di sekitar TWA Gunung Meja. Terdapat 3 (tiga) KTH yang dibentuk pada kegiatan ini setiap desa binaan dibentuk 1 (satu) KTH yaitu KTH Geiwor di Kampung Ayambori, KTH Matoa di kampung Insirifuri dan KTH Kupu Kupu di Kampung Susweni. Nama KTH Kupu Kupu merupakan pemberian masyarakat kampung yang terinspirasi dengan banyaknya kupu-kupu yang berada di kampung Susweni. Pada saat pembentukan KTH Kupu Kupu beranggotakan 15 orang anggota dan kepala kampungdipercayakan menjadi ketua KTH pada pembentukaan saat itu.
Setelah terbentuk KTH proses pendampingan belum intens dilakukan dikarenakan belum ada tenaga penyuluh yang bertugas di Bidang KSDA Wilayah II, hingga di tahun 2019 sebagai calon penyuluh saya diberikan kesempatan untuk mendampingi KTH yang berada di Kabupaten Manowkari termasuk KTH Kupu Kupu di Kampung Susweni.
Beberapa upaya yang saya lakukan dalam mebangun pendekatan dengan masyarakat yaitu dengan melakukan kunjungan ke rumah masyarakat atau ke pondok jualan masyarakat meskipun pada awalnya saya belum mengenal setiap anggota KTH namun rekan saya sering memperkenalkan saya kepada anggota yang baru pertama kali saya temui sehingga perlahan saya mulai mengenal anggota KTH dan masyarakat di kampung. Anak dan Kaka Mey merupakan sebutan yang masyarakat berikan kepada saya.
Kegiatan pendampingan KTH menjadi pertemuan perdana dengan sebagian besar anggota KTH di tiga desa binaan. Saat itu pendampingan dilakukan di Balai Kampung Ayambori. Dalam pertemuan itu kami mengelompokkan tempat duduk peserta berdasarkan asal KTH sehingga dengan mudah saya dapat mengenal setiap anggota KTH. Tantangan saya dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat di desa binaan yaitu saya cukup sulit membedakan anggota KTH karena memiliki rupa yang sayanrasa cukup mirip satu dengan yang lain sehingga biasanya saya menanyakan nama mereka terlebih dahulu ke rekan saya sebelum menyapa mereka, perlahan saya pun dapat mengenali wajah dan nama serta marga setiap anggota kelompok. Tantangan lainnya saya cukup sulit mengadakan pertemuan kelompok di pagi dan siang hari karena di waktu ini masyarakat biasanya berada di kebun mereka sehingga pertemuan kadang dilakukan di siang hari dikala mereka istrahat atau di sore hari sepulang kantor. Seiring berjalan waktu perlahan saya mulai mengenal lebih dekat dengan anggota KTH sesekali bercanda gurau dalam kunjungan saya ke kampung disela-sela aktivitas mereka.
Sebagai orang yang dituakan di kampung, bapak Marthen Meidodga merupakan kepala kampung dan pemilik hak ulayat atas sebagian besar tanah di kampung Susweni. Sewaktu kecil hutan Gunung Meja telah menjadi rumah bermain bagi beliau, lahir dari ayah yang berprofesi sebagai tentara di masa pemerinatahan Belanda di Indonesia dikala negara Indonesia masih berbentuk RIS. Hingga kini beliau tetap mengupayakan kelestarian Gunung Meja dengan mengajak masyarkat untuk tidak melakukan perburuan terhadap satwa dan pembukaan lahan di TWA Gunung Meja karena TWA Gunung Meja merupakan penyokong ketersediaan air di Kampung Susweni.
“Kitong di Kampung ini ambil air di mata air di bawah (sambal menunjuk lokasi mata air), air itu mengalir dari Gunung Meja, kalau kitong tebang-tebang pohon air akan habis.
Bentuk dukungan lain dari beliau yaitu beliau mendukung program pemerintah dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan TWA Gunung Meja tahun 2019.
Noken Susweni
Noken adalah wadah/tas asli Papua, dibuat dari akar-akaran yang dipilin dan dijalin berbentuk jaring. Sejak Desember 2012, noken khas masyarakat Papua ini telah resmi tercatat dalam daftar warisan kebudayaan tak benda UNESCO. Noken sejak dulu telah digunakan oleh masyarakat Papua untuk menyimpan barang-barang keperluan hidup setiap hari.
Masyarakat Papua di Manokwari mengenal 2 (dua) jenis noken yang dibedakan berdasarkan jenis bahan bakunya yaitu noken yang terbuat dari serat tumbuhan dan noken yang terbuat dari benang tekstil. Noken yang menggunakan serat tumbuhan sebagai benang noken umumnya berasal tumbuhan jenis nenas, melinjo, anggrek, dan akar-akan tanaman. Untuk noken yang terbuat dari benang tekstil, orang Papua menyebutnya noken benang toko, biasanya menggunakan benang polycherry yang banyak dijual di pertokoan pasar atau pusat perbelanjaan di dalam kota Manokwari.
Saat ini banyak pengrajin noken yang telah menggunakan benang polycherry sebagai bahan dasarnya. Hal ini disebabkan karena benang polycherry lebih mudah didapatkan. Uniknya, variasi-variasi yang terdapat pada noken menunjukkan daerah atau suku tertentu dimana noken itu berasal. Sejak dulu noken telah menjadi barang utama yang menunjang aktivitas masyarakat Papua, biasanya noken digunakan sebagai tas untuk menyimpan barang-barang bawaan hasil kebun berupa sayur-sayuran dan buah-buahan. Selain itu noken juga digunakan untuk menggendong bayi maupun hewan ternak seperti babi hal ini karena bentuk noken yang elastis yang dapat menyesuaikan dengan barang bawaan. Dengan perkembangan fashion, noken telah menjadi benda yang dapat digunakan oleh semua kalangan dari muda hingga tua baik perempuan maupun laki-laki selain itu, kini penggunaan noken tidak terbatas sebagai tempat menyimpan hasil kebun atau tas untuk menggendong bayi namun noken juga digunakan oleh pelajar untuk membawa buku.
Memperhatikan kearifan lokal masyarakat yang sering kali menggunakan noken menarik perhatian saya untuk menemukan potensi membuat noken dari mama-mama papua yang ada di Kampung Susweni. Setelah berdiskusi dengan Mama Meidodga anggota KTH, saya menemukan adanya potensi mama-mama yang tergabung dalam KTH di kampung Susweni yang ahli membuat noken dari bahan serat nenas, serat melinjo dan benang polycherry. Dengan adanya keterampilan masyarakat dan mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan, Balai Besar KSDA Papua Barat memberikan bantuan usaha ekonomi produktif guna mendukung usaha produksi noken oleh mama-mama Papua di Kampung Susweni.
Proses pembuatan noken dari bahan serat nenas dan melinjo memerlukan proses pengerjaan yang lebih lama dibandingkan dengan benang polycherry hal ini dikarenakan bahan baku serat nenas dan melinjo perlu diolah terlebih dahulu sehingga menjadi helaian-helaian benang halus yang selanjutnya dilakukan pemintalan. Caranya, dua helai benang diletakkan di bagian paha kaki sambil digulung menggunakan tangan sampai semua bagian tergulung menjadi benang yang lebih tebal kemudian dianyam. Proses penganyaman benang serat nenas dan melinjo dilakukan secara tradisional yaitu menggunakan peralatan sederhana, untuk menganyam hanya menggunakan tangan tanpa menggunakan jarum, sedangkan proses penganyaman noken benang polycherry menggunakan jarum anyam hakpen.
Noken yang dibuat dari serat tumbuh-tumbuhan hasilnya berwarna polos. Untuk menambah keindahan sehingga tampak bervariasi, biasanya diberikan pewarnaan pada noken sebagai sentuhan akhir. Pewarna yang digunakan adalah pewarna alami yang berasal dari bagian biji dan daun tumbuh-tumbuhan jenis tertentu atau pewarna tekstil yang tahan lama. Mama-mama di kampung susweni memberikan warna-warna terang seperti merah, kuning, hijau, biru yang dipadukan sedemikian rupa sehingga tampak indah dipandang mata.“Kitong kasih warna supaya de bagus, warna-warna terang bagus, merah kah, hijau kah, kuning kah”, kata Mama Meidodga, anggota KTH Kupu-kupu.
Biasanya mama-mama mengayam noken di siang hari ketika sedang beristrahat setelah bekerja di kebun. Acapkali mereka berkumpul di pondok depan rumah salah satu tetangga sambil mengayam nokennya masing-masing dan bersenda gurau atau sesekali memberikan komentar mengenai warna noken, ukuran maupun panjang pendek noken yang mereka anyam atau noken yang telah jadi. Jika pekerjaan di kebun cukup banyak biasanya pada masa panen atau masa tanam maka menganyam noken dilakukan di malam hari sambil beristrahat dengan keluarga. Mama yang mengayam noken tradisional akan mencari bahan benang di kebun terlebih dahulu, kemudian mengolahnya menjadi benang-benang noken, semakin sulit benang noken diperoleh maka akan semakin besar nilai dari noken tersebut. Sebelum masyarakat menganyam noken mereka menghabiskan waktunya dengan mengolah lahan kebun mereka.
Selain memiliki nilai budaya, tentunya noken menjadi barang yang memiliki nilai ekonomi. Dari sisi fungsi, dapat sebagai pendukung kegiatan ekonomi sebagai tas atau kantong pembawa barang. Noken juga dapat dijual sebagai cinderamata khas Papua. Di Papua secara umum, noken merupakan salah satu benda yang digunakan sebagai simbol selamat datang, selamat jalan ataupun sebagai pemberian hadiah kepada kerabat. Noken banyak dijual di pasar-pasar tradisional, toko-toko souvenir ataupun di depan rumah-rumah masyarakat pembuat noken. Noken yang dijual memiliki ukuran dan model yang bervariasi mulai dari ukuran kecil hingga besar dengan harga yang berbeda di setiap ukurannya. Noken berbahan dasar serat tumbuhan dijual dengan harga mulai dari Rp 100.000,- dan noken benang polycherry dijual dengan harga mulai dari Rp 50.000,-.
Dengan adanya produksi noken memberikan peningkatan pendapatan kepada anggota KTH, beberapa dari noken yang telah mereka buat telah dijual dan memberikan keuntungan, keuntungan tersebut kemudian dijadikan modal untuk mencari benang atau membeli benang. Dari satu noken tradisional yang terjual memberikan keuntungan 100.000 kepada masyarakat dan 50.000 untuk noken benang polychery. Mama Iba yang tekun memproduksi noken telah menjual puluhan noken tradisional dan noken polycherry. “Kalau tidak capek dari kebun mama lanjut bikin noken atau trada kerja. Sekarang orang su pake-pake noken, anak muda dong su pake juga jadi noken ini su jadi kebutuhan juga”
Diharapkan selain dapat mengembangkan warisan budaya noken sebagai salah satu kerajinan tangan orang Indonesa di tanah Papua dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kampung Susweni.
Daftar Pustaka:
Balai Besar KSDA Papua Barat. 2020. Rencana Pemberdayaan TWA Gunung Meja Tahun 2020
Delmo, D. 2015. Pengrajin Noken Pada Suku Bangsa Amungme di Desa Limau Asri Kecamatan Iaka Kabupaten Mimika Provinsi Papua. Jurnal Holistik. No. 16. 4:5
Monografi Kampung Susweni Tahun 2019
Penulis: Meyanti Toding Buak, S.Si (Penyuluh Kehutanan Ahli Pertama)