URGENSI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI
Mengelola sumber daya hutan bukanlah sekedar mengelola ruang geometris yang kosong, melainkan di dalamnya telah terdapat sistem sosial, ekonomi, dan politik yang telah terbangun secara simultan di dalamnya, sehingga tidaklah cukup hanya sekedar menerapkan teknik pengelolaan yang kaku yang hanya sekedar bersandar pada biofisik semata. (Peluso, 1992); (Santoso, 2004); (Soedomo, 2013) telah menunjukkan fakta yang gamblang kepada kita semua bahwa pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia dari rezim kolonial hingga pascakemerdekaan telah menunjukkan bentuk pengelolaan yang berparadigma scientific forestry, yang menihilkan manusia untuk mengutamakan stabilitas dan prediktabilitas agar sumber daya hutan dapat memberikan nilai manfaat yang maksimal bagi perekonomian Negara dan kelestarian sumber daya hutan itu sendiri. Paradigma tersebut pada akhirnya telah membuat stereotipe bahwa pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia adalah antisosial dan tidak humanis, masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan dianggap sebagai hama yang cenderung hidup miskin, dan dengan kenyataan yang berbanding terbalik pada kondisi hutannya yang kaya.
Mindset sektor kehutanan yang antisosial juga kental dalam pengelolaan kawasan konservasi. Sebagaimana lahirnya kawasan konservasi adalah diperuntukkan untuk perlindungan keanekaragaman hayati, pengelolaan kawasan konservasi tumbuh dengan begitu kaku dan kental dengan budaya pelarangan sebagai wujud Negara melakukan perlindungan terhadap sumber daya hutan. Hampir tidak mungkin diperbolehkan adanya aktivitas masyarakat di dalam kawasan konservasi, bahkan perkampungan yang berada di dalam kawasan hutan harus dikeluarkan, segala aktivitas masyarakat di dalam kawasan dianggap ilegal, dan tidak boleh ada ativitas pembangunan yang diperbolehkan di dalam kawasan konservasi walaupun itu diperuntukkan bagi kepentingan publik.
Berangkat dari situasi tersebut, dalam perjalanannya, pengelolaan kawasan konservasi mengalami berbagai kendala dan tantangannya tersendiri. Pengelolaan yang kaku, represif dan tidak humanis telah menciptakan bom waktu dan feedback negatif, muncul perlawanan di simpang jalan melalui senjata orang-orang kalah yang merupakan bentuk perlawanan kaum tani dan masyarakat-masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan yang kemudian menjadi penghambat dalam pengelolaan kawasan konservasi dan menimbulkan eksternalitas negatif terhadap kelestarian hutan konservasi (Scott, 2000); (Santoso, 2004); (Mutiono, 2020). Hutan yang dianggap masyarakat tidak menimbulkan manfaat tentu tidak akan memunculkan rasa untuk memiliki (sense of belonging) dan kemauan untuk menjaganya, begitupula bagi pemerintah daerah maupun sektor-sektor lainnya, apabila hutan masih dianggap sebagai penghambat pembangunan, tentu akan memunculkan berbagai upaya untuk mengubah statusnya menjadi bukan kawasan hutan agar pembangunan tidak lagi terhambat. Dari situlah kemudian muncul aktivitas-aktivitas ilegal dari berbagai pihak akibat keberadaan hutan tidak mampu diaktualisasi menjadi nilai manfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan pembangunan yang berpihak bagi kepentingan umum.
Pengalaman historis yang panjang inilah kemudian menjadi penting bagi organisasi kehutanan terutama pengelola kawasan konservasi agar mampu menjadi organisasi pembelajar untuk menghadapi kenyataan dan perkembangan zaman yang ada, sehingga permasalahan dan tantangan yang muncul dalam pengelolaan kawasan konservasi saat ini dapat dihadapi dengan inovasi-inovasi organisasi yang kontekstual sehingga tetap mampu mewujudkan visi “masyarakat Sejahtera, hutan Lestari”.
Inovasi adalah keharusan. Tanpa inovasi, kita akan terjebak pada fenomena masa lalu yang dipercaya dan diyakini oleh khalayak sebagai sebuah representasi sosial. Serge Moscovici seorang psikolog sosial Perancis telah memperkenalkan teori Representasi Sosial yang menyatakan bahwa pengetahuan suatu kelompok sosial (common sense) terkait dengan konteks dan fenomena sosial yang pernah mereka alami sebelumnya membentu suatu struktur pengetahuan yang kompleks (Deaux & Philogene, 2001). Representasi masyarakat terkait kehutanan yang kaku dan antisosial atas konteks dan fenomena praktik kehutanan masa lalu, tidak akan mudah diubah dalam pandangan masyarakat karena telah menjadi suatu common sense. Untuk mengubah common sense tersebut, organisasi kehutanan harus mampu menyentuh struktur inti dari representasi sosial yang disebut sebagai struktur central core. Central core mencakup gambaran ide, nilai, norma, atau ideologi yang telah membentuk suatu pengetahuan. Organisasi kehutanan harus mampu berinovasi untuk mengubah common sense di masyarakat menjadi pandangan baru bahwa pengelolaan sumber daya hutan saat ini sudah tidak lagi kaku, menjadikan masyarakat sebagai subyek, menghormati hak asasi manusia, memberikan dampak kesejahteraan bagi masyarakat yang tinggal dalam dan sekitar kawasan, serta responsif terhadap upaya pembangunan berkelanjutan untuk kepentingan publik.
Pemikiran (Wiratno, 2018) tentang 10 cara baru kelola kawasan konservasi setidaknya telah memberikan angin segar dalam lembaran baru pengelolaan kawasan konservasi. Prinsip menjadikan masyarakat sebagai subyek dan memasukkan mereka sebagai bagian dari keluarga besar (extended family) merupakan cita-cita golongan arus “kiri” (rimbawan progresif) di masa pascakemerdekaan yang tidak mampu diretorikakan secara mantap bersanding pada pandangan-pandangan scientific forestry rimbawan konservatif (Santoso, 2004). Gagasan-gagasan kehutanan yang lebih memfokuskan pada aspek sosial sebenarnya sudah mulai menarik perhatian berbagai kalangan pada tahun 1970-an dengan diangkatnya tema bernuansa sosial dalam kongres kehutanan internasional seperti forest for socio-economic development di Buenos Aires tahun 1972, forest for people di Jakarta tahun 1978, forest resources in the integral development of society di Mexico City tahun 1985, dan berbagai pertemuan-pertemuan lainnya baik skala nasional maupun internasional. Sejak saat itu mulailah bermunculan berbagai istilah seperti community forest, social forestry, forestry for community development, village forest, community based forest management, dan lain sebagainya (Santoso, 2004).
Tidak sedikit praktik dan pengetahuan lokal yang dimiliki oleh kelompok-kelompok masyarakat di penjuru Nusantara yang justru sukses dalam mempertahankan kelestarian sumber daya alam di wilayahnya seperti halnya repong damar di Lampung, simpukng dan lembo di Kalimantan Timur, tembawang di Kalimantan Barat, dusun di Maluku, mane’e di Sulawesi Utara, hutan rakyat di Jawa, dedukuhan di Jawa Barat, hutan jati rakyat di Sulawesi Tenggara, burakheang di Papua, dan sasi/yegek di Maluku dan Papua Barat (Hapsari et al., 2013); (Adiwibowo et al., 2023); (Suharjito, 2013).
Kenyataan bahwa masyarakat juga memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam yang mandiri dan berkelanjutan, maka proses-proses penggalian pengetahuan lokal yang telah terkonvergensi secara simbolik, pendekatan, dan pelibatan mereka dalam upaya pengelolaan, menjadi penting untuk dilakukan sebagai titik acuan penguatan masyarakat dalam mengelola potensi sumber daya alam. Pengetahuan lokal lahir atas upaya mencoba yang dilakukan terus menerus (try and error) dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya yang ada disekitar kehidupan masyarakat untuk menunjang dan mempertahankan kelangsungan hidup serta diwariskan secara turun temurun baik langsung maupun tidak langsung oleh pendahulu ke generasi selanjutnya melalui tradisi lisan dan tradisi meniru (Daulay, 2011). Adapun pengetahuan lokal sendiri oleh (Koentjaraningrat, 1990) dibagi setidaknya menjadi 7 jenis yaitu pengetahuan tentang sekitaran alam, pengetahuan tentang flora, pengetahuan tentang fauna, pengetahuan tentang zat-zat dan bahan mentah, pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang kelakuan sesama manusia, dan pengetahuan tentang tata ruang, waktu dan bilangan. Dengan diketahuinya pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat, proses-proses “to give power, ability or authority to” dapat dilakukan melalui memahami apa yang telah dilakukan masyarakat (what is actually done) kemudian memahami apa yang harus dilakukan (what to do) dan bersama-sama menentukan bagaimana melakukannya (how to do it) (Prijono, 1996).
Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 merilis terdapat setidaknya 25.863 desa yang berada di sekitar kawasan hutan dengan 36,7%-nya termasuk kategori miskin. (Susetyo, 2022) juga menyampaikan bahwa proporsi desa di sekitar kawasan hutan terbanyak berada di Provinsi Papua dan Papua Barat (saat ini menjadi Provinsi Papua, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Pegunungan, Papua Barat, dan Papua Barat Daya) yaitu sebanyak 1.974 desa dengan luas mencapai 15.329.561 hektar. Selaras dengan data tersebut, Direktorat Jenderal KSDAE tahun 2020 juga merilis setidaknya terdapat data indikatif desa penyangga kawasan konservasi di seluruh Indonesia sebanyak 6.747 desa dengan proporsi terbanyak adalah desa penyangga kawasan konservasi di wilayah kerja BBKSDA Papua, BTN Lorenz, dan BBKSDA Papua Barat yang seluruhnya berada di Tanah Papua. Pada umumnya masyarakat yang tinggal pada desa penyangga kawasan konservasi masih memiliki relasi yang erat dengan sumber daya hutan yang ada di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan subsistennya bahkan telah berelasi secara sosial budaya. Padahal dalam konteks perlindungan kawasan konservasi dan keanekaragaman hayatinya serta pemanfaatan berkelanjutan, merekalah yang menjadi salah satu penentu sebagai pihak yang berada di tapak berhadapan langsung dengan sumber daya alam yang ada.
Maka dari itu, pelibatan mereka menjadi kunci untuk memastikan kawasan konservasi tetap lestari di tingkat tapak. Apabila kawasan konservasi dirasakan manfaat keberadaannya bagi masyarakat, maka dengan sendirinya mereka akan turut menjaga kelestariannya, dan sebaliknya apabila keberadannya justru merugikan mereka yang tinggal di sekitarnya, maka pelan tapi pasti akan muncul berbagai usaha untuk mengubahnya menjadi bentuk yang dirasakan lebih bermanfaat. Hal tersebut juga selaras dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 “Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat”. Pada titik itulah, organisasi kehutanan dalam hal ini pengelola kawasan konservasi perlu memandang vital fungsi pemberdayaan masyarakat dalam melakukan pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia.