Local knowledge and linguistic diversities are underappreciated pillars of biodiversity
Bersamaan dengan berlangsungnya perubahan iklim global, kepunahan massal biodiversitas generasi ke enam yang saat ini terjadi merupakan salah satu ancaman terbesar yang dihadapi umat manusia. Aktivitas manusia saat ini telah merubah tatanan kehidupan di Bumi, terparah di dalam sejarah umur Bumi. Diprediksikan sekitar satu juta spesies makhluk hidup terancam mengalami kepunahan dalam beberapa dekade ini. Biodiversitas atau keanekaragaman hayati mencakup semua bentuk kehidupan dan variasinya di seluruh bentang alam. Sebagai salah satu parameter mengenai kualitas lingkungan yang paling penting, keanekaragaman hayati yang tinggi seringkali dikaitkan dengan penyediaan jasa ekosistem yang lebih baik. Taman nasional, cagar alam, kawasan lindung, dan langkah-langkah lain untuk melestarikan alam selalu berkaitan dengan perlindungan biodiversitas. Namun ada aspek kritis yang seringkali terabaikan, yakni hubungannya dengan adat budaya dan bahasa masyarakat lokal.
Pada beberapa kasus, terdapat masyarakat tradisional yang menggunakan tumbuhan endemik untuk keperluan sehari-harinya. Pengetahuan mereka akan spesies tumbuhan endemik tersebut cukup tinggi. Namun karena arus globalisasi yang sangat kuat, banyak generasi muda dari masyarakat tradisional tersebut menjadi tidak tertarik untuk mempelajari adat budaya, bahasa, dan pengetahuan lokal leluhurnya. Culture-shifting atau perubahan budaya ini sedang terjadi di seluruh dunia saat ini, yang ternyata cukup banyak mempengaruhi biodiversitas.
Studi terbaru mengungkapkan bahwa keanekaragaman budaya dan bahasa secara intrinsik berhubungan dengan perlindungan biodiversitas. Bahasa dan budaya dari masyarakat tradisional atau lokal sangat penting, karena mereka yang menjadi jembatan komunikasi untuk mengetahui dan menafsirkan biodiversitas yang ada di sekitarnya. Sedangkan masyarakat modern seringkali gagal memahami dan menginterpretasi alam atau biodiversitas. Contoh sederhananya adalah pengetahuan lokal terkait pemanfaatan tumbuhan atau etnobotani. Masyarakat lokal yang mendiami suatu wilayah tertentu pasti akan lebih paham mengenai kegunaan suatu jenis tumbuhan tersebut, misalnya masyarakat suku Batanta.
Suku Batanta merupakan salah satu suku yang mendiami Kabupaten Raja Ampat, tepatnya di bagian selatan Pulau Batanta di Kampung Wailebet, Yenanas, dan Kampung Waiman. Bahasa yang digunakan oleh suku Batanta adalah bahasa Batanta atau Batta.
Berdasarkan hasil penghitungan dialektometri, yang merupakan hasil perbandingan isolek Batanta dengan bahasa di sekitar merupakan sebuah bahasa dengan persentase perbedaan 82,75%—100%. Jika dibandingkan dengan bahasa Ambel menunjukkan perbedaan leksikon dan fonoligi sebesar 95,75%, dengan bahasa Tepin sebesar 82,75%, bahasa Esaro (Kawit) sebesar 89,25%, bahasa Efpan sebesar 99,75%, dan bahasa Moi Sigin sebesar 99%. Hal tersebut menginterpretasikan bahwa kosa kata bahasa Batanta memiliki perbedaan yang cukup signifikan (82,75%—100%) dengan bahasa suku lain yang ada di sekitarnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh pakar bahasa dari Universitas Edinburgh (United Kingdom), bahasa Batanta merupakan salah satu bahasa yang sudah sangat terancam punah (Highly Endangered language). Hal tersebut dikarenakan hanya terdapat sekitar 150 penutur bahasa Batanta (Arnold, 2020). Hal tersebut juga diperparah dengan anak-anak dan generasi muda yang sudah jarang menggunakan bahasa Batanta dikesehariannya. Jika bahasa suatu suku telah punah, maka segala informasi mengenai suku tersebut akan hilang kemudian, termasuk informasi biodiversitas.
Dalam dunia konservasi, jika manusia biasanya hanya melakukan perlindungan biodiversitas, maka saat ini sudah seharusnya juga dilakukan perlindungan budaya dan bahasa masyarakat adat setempat. Hal tersebut telah tertuang dalam 10 cara baru kelola kawasan konservasi, khususnya pada butir 1 Masyarakat sebagai subyek pengelolaan, 2. penghormatan pada HAM, dan butir 3. penghormatan nilai budaya dan adat.
Penulis: Reza Saputra (PEH Balai Besar KSDA Papua Barat)
Bacaan lebih lanjut:
Arnold, L. (2020). Four undocumented languages of Raja Ampat. Language Documentation and Description, 17, 25–43.
Cámara–Leret, R., & Bascompte, J. (2021). Language extinction triggers the loss of unique medicinal knowledge. https://doi.org/10.1073/pnas.2103683118
Cámara–Leret, R., & Dennehy, Z. (2019). Indigenous Knowledge of New Guinea’s Useful Plants: A Review1. Economic Botany, 73(3), 405–415. https://doi.org/10.1007/s12231-019-09464-1
Cámara-Leret, R., Fortuna, M. A., & Bascompte, J. (2019). Indigenous knowledge networks in the face of global change. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 116(20), 9913–9918. https://doi.org/10.1073/pnas.1821843116
Cámara-Leret, R., Raes, N., Roehrdanz, P., de Fretes, Y., Heatubun, C. D., Roeble, L., Schuiteman, A., van Welzen, P. C., & Hannah, L. (2019). Climate change threatens New Guinea’s biocultural heritage. Science Advances, 5(11). https://doi.org/10.1126/sciadv.aaz1455
Frainer, A., Mustonen, T., Hugu, S., Andreeva, T., Arttijeff, E. M., Arttijeff, I. S., Brizoela, F., Coelho-De-Souza, G., Printes, R. B., Prokhorova, E., Sambou, S., Scherer, A., Shadrin, V., & Pecl, G. (2020). Cultural and linguistic diversities are underappreciated pillars of biodiversity. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 117(43), 26539–26543. https://doi.org/10.1073/pnas.2019469117