EKOLITERASI KELOMPOK PECINTA ALAM, WUJUD NYATA KONSERVASI OLEH BALAI TAMAN NASIONAL WAKATOBI DI TENGAH PANDEMI

Oleh: Rini

“Juara 8 dalam kompetisi menulis Balai Besar KSDA Papua Barat”

 

Sudah ebih dari setahun pandemi COVID-19 melanda dunia kita. Selama itu, berbagai aspek kehidupan manusia telah berubah. Mulai dari aspek kesehatan, gaya hidup sehari-hari, aspek  ekonomi hingga yang tidak kalah terpenting adalah aspek pendidikan. Selama pandemi ini, pemerintah mengambil langkah besar dalam sejarah pendidikan, yaitu menghentikan aktivitas belajar-mnegajar tatap muka dan digantikan dengan kegiatan belajar mengarar secara online. Hal ini dilakukan semata-mata demi kepentingan bersama. Tentu kebijakan tersebut berpengaruh terhadap pola belajar dan interaksi para murid, dalam hal ini adalah generasi muda.

Taman Nasional Wakatobi merupakan salah satu taman nasional laut yang berada di Kabupate Wakatobi. Wakatobi adalah gugusan kepulauan yang terdiri dari empat pulau utama yang kemudian menjadi akronim dari nama kabupaten tersebut, yaitu Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Taman Nasional Wakatobi memiliki delapan sumber daya penting yang menjadi target konservasi yaitu terumbu karang, lamun, mangrove, penyu, cetacean, burung pantai, daerah pemijahan ikan (SPAGs), dan ikan ekonomi penting. Sumber daya tersebut merupakan ekosistem penting yang terus digiatkan upaya konservasinya ditengah-tengah masyarakat, khususnya generasi muda.

Berbagai opini berkembang meyakini bahwa pandemi Covid-19 sedikit banyaknya telah membawa dampak positif terhadap lingkungan salah satunya kurangnya tekanan dampak pariwisata. Namun, hal tersebut tidak boleh menjadikan kita lengah dan bersantai-santai dalam terus menggerakkan giat konservasi. Di tengah kekosongan kegiatan generasi muda dari aktivitas sekolah, Kelompok Pecinta Alam dapat menjadi salah satu wadah untuk menerapkan ekoliterasi. Apa itu ekoliterasi?

Ekoliterasi atau melek ekologi adalah suatu proses peningkatan pemahaman pengetahuan, sikap dan perilaku berlandaskan ekologi. Ekoliterasi berupaya memperkenalkan dan memperbaharui pemhaman sesorang akan pentingnya kesadaran ekologis global, guna menciptakan keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dan kesanggupan bumi untuk menopangnya. Ekoliterasi (eco-literacy) atau melek ekologi, dikemukakan pertama kali oleh  Fritjof Capra dalam bukunya berjudul The Web of Life: A New Understanding of Living Systems pada tahun 1997.

Seksi Pengelolaan Wilayah III Taman Nasional Wakatobi membina dua Kelompok Pecinta Alam (KPA) yaitu KPA Toburi di Pulau Tomia dan KPA Birgus Latro di Pulau Binongko. Setelah tidak berkegiatan selama tahun 2020, dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi, pembinaan kedua KPA tersebut mulai dilakukan lagi. Namun tentu saja setiap aktivitas pembinaan tetap memperhatikan protokol kesehatan yang diwajibkan.

Kegiatan yang dilakukan yaitu memperingati hari-hari lingkungan dengan melakukan aksi terbatas. Kegiatan pertama adalah Hari Peduli Sampah Nasional bersama KPA Birgus Latro Pulau Binongko pada tanggal 21 Februari 2021. Kegiatan ini dirancang dengan menjadikan ekoliterasi sebagai dasar dalam pelaksanannya. Kegiatan peringatan ini dimulai dengan pemberian leaflet digital mengenai sampah plastik dan bagaimana menerapkan gaya hidup minim plastik yang mudah diterapkan. Selama kegiatan para anggota dipacu untuk lebih kritis terhadap permasalahan sampah plastik di sekitar mereka. Kemudian diajak untuk menelaah dampak-dampak buruk plastik terhadap lingkungan, khusunya dampaknya terhadap delapan sumber daya penting Taman Nasional Wakatobi. Serta distimulus untuk menemukan cara-cara mudah menerapkan gaya hidup minim plastik dalam kehidupan sehari-hari mereka. Materi ini sangat relevan dengan kehidupan mereka, karena meski Pulau Binongko merupakan pulau terjauh dari dari daratan utama, namun sampah plastik kiriman saat musim barat sangat melimpah di sepanjang pesisir pulau. Setelah kegiatan materi, para anggota KPA kemudian melakukan aksi bersih pantai dari sampah plastik di Pantai Onemelangka yang merupakan salah stau objek wisata masyarakat dan terdapat sampah plastik di sepanjang pantai tersebut.

Gambar 1. Aksi bersih pantai, salah satu bagian dari penerapan ekoliterasi, oleh KPA Birgus Latro di Pantai Onemelangka Pulau Binongko

Kegiatan kedua adalah memperingati Hari Air Sedunia bersama KPA Toburi Pulau Tomia. Senada dengan kegiatan memperingati Hari Peduli Sampah Nasional pada tanggal 22 Maret 2021, kegiatan ini juga menitikberatkan kepada ekoliterasi anggota. Kegiatan ini juga dimulai dengan pemberian leaflet digital mengenai pentingnya Konservasi Air dan Ekosistemnya; dan cara mudah yang mereka bisa terapkan dalam upaya konservasi air. Pulau Tomia merupakan pulau kecil yang tidak memiliki daerah aliran sungai dan memiliki sumber mata air tawar yang terbatas. Salah satu sumber mata air masyarakat adalah gua karst. Namun pada saat yang bersamaan juga menjadi obyek wisata dan tempat mencuci pakaian oleh masyarakat sekitar. Selama pemberian materi, mereka distimulus untuk lebih peka mengenai makna air dalam kehidupan mereka dan bagaimana peran mereka sebagai generasi muda dalam upaya konservasi air dan ekosistemya. Kegiatan ini ditutup dengan aksi bersih sampah plastik di gua Te’e Wali. Berbagai jenis sampah plastik ditemukan, mulai dari bagian luar hingga bagian dasar kolam gua yang menjadi sumber mata air masyarakat.

Gambar 2. Penerapan ekoliterasi terhadap anggota KPA Toburi dalam rangka memperingati Hari Air Sedunia di Gua Te’e Wali Pulau Tomia

Mengajak mereka dalam peringatan hari lingkungan dan menanamkan ekoliterasi bertahap dalam kehidupan mereka, diharapkan dapat mengisi kekosongan aktivitas mereka dari pendidikan formal selama pandemi dan diisi dengan kegiatan ekoliterasi. Hal ini penting, mengingat ekoliterasi diharapkan dapat mencerahkan pemahaman mereka mengenai pentingnya menjaga sumber daya alam melalui aksi-aksi nyata.

Anggota KPA sebagia generasi muda, tidak hanya menjadi target pendidikan semata, tapi juga berani mengambil peran inisiator dalam upaya konservasi sumber daya dan lingkungan. Hal ini dikarenakan, generasi muda adalah pewaris sumber daya alam di masa depan. Memperhatikan hal tersebut, ekoliterasi tidak hanya sekedar memfokuskan kepada pemahaman konseptual generasi muda terhadap permasalahan kontemporer ekologi. Tapi juga, ekoliterasi harus mampu mengajak generasi muda mewujudkan pemahaman ekologinya dalam aksi nyata yang berkontribusi mengurangi persoalan-persoalan hidup, khusunya yang berkaitan dengan sumber daya alam. Pemahaman dari membaca tidaklah cukup tetapi juga harus diaktualisasikan dalam kepekaan lingkungan dan kemampuan untuk mengambil langkah kongkrit untuk masa depan.

Penerapan ekoliterasi dalam upaya pembinaan anggota KPA menjadi aksi nyata konservasi di tengah pandemi berhasil dilaksanakan oleh Balai Taman Nasional Wakatobi. Kegiatan ini selain menjadi input positif bagi anggota KPA sebagai generasi muda diharapkan akan berdampak baik bagi sumber daya baik di masa skearang maupun di masa mendatang.