MENGENAL KEMITRAAN KONSERVASI

Dalam rangka mengubah arus paradigma pengelolaan hutan di Indonesia yang lebih mengedepankan masyarakat sebagai subyek pembangunan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan salah satu kebijakan yang mengedepankan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan melalui kebijakan Kemitraan Konservasi. Kemitraan konservasi sendiri dalam Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi Pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, dimaknai sebagai kerja sama antara kepala unit pengelola kawasan atau pemegang izin pada kawasan konservasi dengan masyarakat setempat berdasarkan prinsip saling menghargai, saling percaya, dan saling menguntungkan.

Kemitraan konservasi dalam implementasinya terbagi menjadi 2 jenis kegiatan utama, yaitu kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat dan kemitraan konservasi dalam rangka pemulihan ekosistem. Bentuk kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat dapat berupa pemberian akses dan kerja sama antara pemegang izin pada kawasan konservasi dengan masyarakat setempat. Bentuk kemitraan pemberian akses dapat dibagi lagi ke dalam beberapa bentuk kegiatan antara lain, yaitu pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional, perburuan tradisional untuk jenis yang tidak dilindungi, pemanfaatan tradisional sumber daya perairan terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi, dan wisata alam terbatas. Terkait dengan bentuk kemitraan kerja sama antara pemegang izin pada kawasan konservasi dengan masyarakat setempat, pelaksanaannya difasilitasi oleh UPT dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Adapun lokasi kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat diarahkan pada zona/blok tradisional dan blok pemanfaatan KPA dengan mempertimbangkan aksesibilitas, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan potensi sumber daya hutan non-kayu/perairan yang tidak dilindungi.

Mitra konservasi untuk kemitraan konsevasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat dapat berupa perseorangan masyarakat, kelompok masyarakat dan/atau pemerintah desa. Adapun persyaratan bagi perseorangan atau kelompok masyarakat yang harus dimiliki sebagai calon mitra adalah sebagai berikut:

  1. Kartu tanda penduduk/ surat domisili/ atau surat dari pihak berwenang yang membuktikan bahwa yang bersangkutan tinggal di sekitar KSA/KPA;
  2. Bagi mitra yang berasal dari lintas desa, diberikan keterangan oleh camat atau lembaga adat setempat;
  3. Mempunyai mata pencaharian pokok bergantung pada KSA dan/atau KPA;
  4. Mempunyai potensi pengembangan usaha padat karya secara berkelanjutan; dan atau
  5. Berbentuk kelompok masyarakat setempat.

Dalam menjalankan kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat, mitra konservasi berhak untuk mendapatkan akses pemungutan hasil hutan non kayu, budidaya tradisional, perburuan tradisional, pemanfaatan sumber daya perairan dan mengusahakan jasa wisata alam terbatas, serta mendapatkan fasilitas pembentukan kelompok dan penguatan kelembagaan kelompok. Adapun kewajiban mitra konservasi diantaranya, yaitu menaati kesepakatan dalam perjanjian kerja sama, mengembangbiakkan/melakukan budidaya HHKBK yang dipungut di dalam atau di luar KSA/KPA melalui pengembangan kebun bibit kelompok, tidak menebang pohon, menjaga areal kemitraan dari kebakaran, perburuan, penyerobotan lahan, penambangan dan gangguan lain dari pihak luar, serta melaporkan setiap gangguan terhadap kawasan di dalam dan sekitar area kemitraan kepada UPT Pengelola Kawasan. Dalam mendukung kegiatan kemitraan, UPT menyediakan tenaga pendamping kegiatan dimaksud.

Kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat dilaksanakan melalui 4 tahapan, yaitu tahap persiapan, tahap usulan rencana kegiatan, tahap penilaian dan persetujuan, dan tahap perumusan dan penandatanganan. Tahap persiapan meliputi inventarisasi dan identifikasi karakteristik lokasi, penentuan dan penetapan arah pengelolaan dan pemanfaatan, pengkajian karakteristik lokasi, memfasilitasi pembentukan kelompok dan penguatan kelembagaan kelompok. Pada tahap usulan rencana kegiatan, calon mitra dalam mengajukan usulan rencana kegiatan memuat organisasi kelompok masyarakat, lokasi dilengkapi peta lokasi, jenis yang dimanfaatkan, dan waktu pemanfaatan. Dalam hal usulan memenuhi syarat, pengelola UPT menerbitkan persetujuan. Usulan yang telah disetujui, dirumuskan dan dituangkan dalam perjanjian kerja sama yang ditandatangani oleh Kepala UPT dengan kelompok masyarakat dan dilaporkan kepada Direktur Jenderal. Kerja sama dengan jangka waktu sampai 5 tahun ditindaklanjuti dengan penyusunan Rencana Pelaksanaan Program sepanjang jangka pelaksanaan kerja sama dan dijabarkan dalam rencana kerja tahunan setiap tahunnya. Waktu kerja sama dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi.

Kemitraan konservasi dalam rangka pemulihan eksosistem dapat dilakukan pada ekosistem yang rusak di KSA dan KPA. Kerusakan ekosistem sebagaimana dimaksud dapat disebabkan oleh daya-daya alam seperti bencana alam dan kebakaran, jenis invasif, dan perbuatan manusia. Kemitraan konservasi pemulihan ekosistem dilakukan untuk tujuan memulihkan fungsi ekosistem secara bertahap agar kembali mendekati kondisi aslinya atau mencapai kodisi sesuai tujuan yang ditetapkan oleh pengelola. Adapun ketentuan dalam pelaksanaan kemitraan konservasi dalam rangka pemulihan ekosistem adalah sebagai berikut:

  1. Mitra menandatangani pernyataan pengakuan bahwa areal yang dipulihkan adalah KSA/KPA dan tidak memperluas areal garapan;
  2. Tujuan kemitraan untuk memulihkan ekosistem KSA/KPA;
  3. Jangka waktu kemitraan maksimal 10 tahun atau 1 daur dan dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi;
  4. Melakukan pemulihan ekosistem secara bertahap;
  5. Mitra konservasi berbentuk kelompok atau lembaga;
  6. Adanya jaminan untuk beralih mata pencaharian/ketergantungan pada kawasan konservasi.

Dalam menjalankan kemitraan konservasi pemulihan ekosistem, mitra konservasi berhak untuk mendapatkan pendampingan dari penyuluh atau mitra unit pengelola, memanfaatkan tumbuhan invasif yang ditebang dalam kegiatan pemulihan ekosistem, mendapatkan fasilitasi dan pendampingan dalam rangka pemberdayaan untuk beralih mata pencaharian dan mengurangi ketergantungan pada hutan. Disamping itu, mitra konservasi berkewajiban untuk menaati kesepakatan dalam perjanjian kerja sama, menjaga dari kebakaran, perburuan, penyerobotan lahan dan penambangan, berperan aktif dalam pelaksanaan pemulihan ekosistem, melaporkan kepada petugas apabila menemukan gangguan di dalam atau sekitar areal kemitraan, serta paling lama 1 tahun setelah kemitraan dilaksanakan mitra wajib menanam tanaman asli/endemik. Dalam mendukung kemitraan, unit pengelola menyediakan tenaga pendamping kepada mitra dan dapat dibantu oleh stakeholders terkait.

Lokasi kemitraan konservasi pemulihan ekosistem yaitu pada zona rehabilitasi taman nasional atau blok rehabilitasi suaka margasatwa, taman hutan raya, taman wisata alam, atau areal yang telah mengalami kerusakan dan bukan pada areal jelajah satwa dilindungi atau habitat satwa dilindungi. Adapun masyarakat calon mitra pemulihan ekosistem wajib memiliki persyaratan sebagai berikut:

  1. Kartu tanda penduduk/ surat domisili/ atau surat dari pihak berwenang yang membuktikan bahwa yang bersangkutan tinggal di sekitar areal;
  2. Bagi mitra yang berasal dari lintas desa, diberikan keterangan oleh camat atau lembaga adat setempat;
  3. Mempunyai mata pencaharian pokok bergantung pada lahan garapan;
  4. Mempunyai potensi untuk pengembangan usaha padat karya secara berkelanjutan;
  5. Dalam hal masyarakat di dalam kawasan konservasi sebagai penggarap dibuktikan dengan areal garapan sebelum ditunjuk/ditetapkan kawasan konservasi berupa tanaman kehidupan berumur paling sedikit 20 tahun.

Pelaksanaan kemitraan konservasi pemulihan ekosistem diawali dengan inventarisasi dan identifikasi kerusakan ekosistem akibat perbuatan manusia di wilayah kerjanya melalui studi diagnostik dan atau studi etnografi. Inventarisasi dan identifikasi yang dilakukan mencakup lokasi dan luas kerusakan ekosistem, jenis tanaman, identitas penggarap, motif mlakukan penggarapan, cara memperoleh areal garapan, tingkat ketergantungan penggarap terhadap lahan, sejarah dan bentuk interaksi masyarakat dengan KSA/KPA, bentuk sistem penguasaan tanah dan sumber daya alam, serta persepsi dan nilai-nilai masyarakat terhadap KSA/KPA. Berdasarkan hasil inventarisasi dan identifikasi disusun rencana kemitraan dalam rangka pemulihan ekosistem. Rencana kemitraan meliputi lokasi, calon mitra, metode pelaksanaan, waktu kemitraan dan pembiayaan.

Untuk mengawali kemitraan konservasi pemulihan ekosistem dilakukan penandatanganan perjanjian kerja sama antara unit pengelola dan calon mitra dengan terlebih dahulu melakukan musyawarah rencana kemitraan untuk memperoleh kesepakatan jangka waktu kemitraan dan metode pelaksanaannya. Dari hasil musyawarah disusun naskah perjanjian kerja sama. Naskah perjanjian kerja sama yang telah ditandatangani dilaporkan kepada Direktur Jenderal.

Adapun secara lebih detail mengenai format naskah perjanjian kerja sama kemitraan konservasi dapat mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi Pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

 

Penulis : Mutiono, S.Hut (Calon Penyuluh Kehutanan Pada Balai Besar KSDA Papua Barat)