Pemodelan Distribusi Spasial Spesies Satwa Utama di Kepulauan Raja Ampat

Dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi di era saat ini, upaya untuk membunyikan dan memvisualisasikan data lapangan yang telah dikumpulkan selama bertahun-tahun merupakan sebuah kebutuhan yang mendasar. Hal ini penting dilakukan dalam upaya merumuskan kebijakan dan program konservasi keanekaragaman hayati berbasiskan ilmu pengetahuan. Berkaca pada hal tersebut, perlu dilakukan kajian distribusi spasial spesies berdasarkan data yang telah dikumpulkan sebelumnya. Pada kurun waktu 2014-2022 di Seksi Konservasi Wilayah (SKW) I telah terkumpul setidaknya seribu catatan titik perjumpaan satwa (Gambar 1).

Gambar 1. Titik koordinat perjumpaan satwa tahun 2014-2022 di SKW I Raja Ampat

Paling tidak kajian distribusi spasial spesies dilakukan untuk jenis-jenis spesies satwa utama. Spesies utama adalah suatu spesies dari tumbuhan atau satwa yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap satu atau lebih proses ekologis kunci di suatu kawasan, antara lain dapat merupakan salah satu dari spesies prioritas, spesies kunci, spesies payung, spesies indikator atau spesies bendera (Perdirjen KSDAE No P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016). Berdasarkan definisi tersebut setidaknya terdapat 6 jenis spesies satwa utama di SKW I Raja Ampat, jika dilihat dari endemisitas dan status perlindungannya (Tabel 1). Lebih lanjut klasifikasi, habitat dan persebaran keenam spesies satwa utama diuraikan pada Tabel 2.

Kajian distribusi spasial spesies satwa utama dilakukan melalui pemodelan distribusi spasial spesies/ Spesies Distribution Modelling (SDM). Spesies Distribution Modelling (SDM) adalah model kuantitatif dan empiris mengenai hubungan antara spesies dengan lingkungannya, yang dikembangkan dengan menggunakan data temuan serta kelimpahan spesies dan variabel lingkungan yang dianggap memengaruhi distribusi spesies seperti ketinggian, iklim, sumber pakan, sumber air dan sebagainya (Elith dan Franklin 2013). Ide utama dari SDM adalah menghubungkan faktor lingkungan dengan distribusi spesies menggunakan fungsi statistik atau algoritma (Hallstan 2011). SDM dapat menghasilkan peta kesesuaian habitat serta menduga kelimpahan lokal suatu spesies bahkan dinamika populasi jangka pendek (A. Lee-Yaw et al. 2022).

Metode 

Metode yang digunakan dalam kajian distribusi spasial spesies satwa utama adalah melalui pemodelan distribusi spesies MaxEnt (Maximum Entropy). MaxEnt adalah software untuk pemodelan distribusi spesies berdasarkan catatan kejadian (lokasi di mana spesies telah ditemukan) bersama dengan variabel lingkungan seperti elevasi, vegetasi, gangguan manusia, curah hujan dan suhu untuk wilayah studi sekitarnya. MaxEnt merupakan tool pemodelan distribusi spesies yang cukup populer, pada laman pencarian Google Scholar terdapat lebih dari 6000 kutipan penggunaan software MaxEnt untuk pemodelan di bidang ekologi, biogeografi, dan evolusi (Philips et al. 2017). Popularitas MaxEnt disebabkan karena dua alasan: 1) MaxEnt biasanya mengungguli metode lain berdasarkan akurasi prediksi dan 2) perangkat lunak ini sangat mudah digunakan (Cory et al. 2013).

Persiapan Data

Seluruh data disiapkan dan diolah menggunakan MS Excel, ArcGIS, MaxEnt 3.4.0. Terdapat dua jenis data yang digunakan dalam melakukan pemodelan menggunakan software MaxEnt yaitu 1. Data titik koordinat perjumpaan satwa utama (presence) di kawasan SKW I Waisai Raja Ampat, dan 2. Variabel lingkungan terhadap masing-masing jenis satwa target.

  1. Data titik perjumpaan satwa utama

Data titik koordinat perjumpaan satwa merupakan data perjumpaan baik melalui perjumpaan langsung, jejak, suara, dan kamera trap hasil kegiatan-kegiatan inventarisasi, monitoring, patroli, dan identifikasi/eksplorasi dari tahun 2014 hingga 2022 di SKW I Waisai Raja Ampat. Berdasarkan ketersediaan data, maka spesies utama yang dapat dilakukan pemodelan distribusi spasial adalah Cendrawasih Merah (Paradisaea rubra), Cendrawasih Botak (Cicinnurus respublica), dan Maleo Waigeo (Aepypodius bruijnii). Menurut Rahman et al 2022 titik kehadiran spesies akan optimal dengan sekurang kurang nya titik perjumpaan berjumlah 14 untuk spesies dengan wilayah jelajah sempit hingga 25 titik untuk spesies dengan wilayah jelajah luas. Adapun jumlah catatan titik koordinat yang digunakan adalah Cendrawasih Merah (Paradisaea rubra) = 118 titik, Cendrawasih Botak (Cicinnurus respublica) = 42 titik, Maleo Waigeo = 30 titik. Data kehadiran ini diolah menggunakan Ms Excel yang selanjutnya diubah ke dalam format Comma Separated Value (.csv).

  1. Data variabel lingkungan

Seluruh variabel lingkungan dari format raster diubah menjadi bentuk .file ASCII (.asc). Adapun variabel lingkungan yang digunakan ditunjukan pada Tabel 3. Data menggunakan system proyeksi yang sama yaitu WGS 1984 UTM Zone 52S, dengan resolusi raster 30 m. Keseluruhan proses spasial dilakukan menggunakan tool raster processing dan spatial analysis dalam perangkat ArcGIS.

Hasil Pemodelan Maxent

Data titik koordinat perjumpaan dan variabel lingkungan masing-masing dalam format .csv dan .asc di-input kedalam algoritma MaxEnt, dalam tahap ini, beberapa pengaturan dilakukan, 1) Menjalankan pengukuran tingkat kepentingan jackknife, 2) Mengubah format output menjadi logistik dan tipe output menjadi .asc, 3) Persentase random test = 25 %, 4) replikasi sebanyak 10 kali, 5) tipe replikasi Bootstrap, dan 6) maksimum iterasi sebanyak 5000 kali. Pengolahan bias grid dilakukan untuk meminimalisirkan bias terhadap hasil yang diolah. Pengolah bias grid dilakukan dengan tool Gaussian Kernel Density of Sampling Localities yang terdapat pada SDMToolbox.

1. Cendrawasih Merah (Paradisaea rubra)

Jumlah titik koordinat yang digunakan dalam pemodelan distribusi Cendrawasih Merah adalah 118 titik (Gambar 2). Hasil pemodelan untuk Cendrawasih Merah tergolong sangat baik, dengan nilai area under curve (AUC) 0.936 dan standar deviasi 0.009. Penilaian akurasi untuk setiap variabel dalam model diukur oleh nilai AUC dari kurva receiver operating characteristic (ROC). Standar minimum akurasi dan kinerja model yang dapat diterima yaitu ketika nilai Random Prediction (AUC = 0.5). Evaluasi kinerja model berdasar pada nilai Area Under the Receiver Operating Characteristics Curve (AUC) dengan rentang nilai 0-1, semakin mendekati 1 berarti model yang dihasilkan semakin baik (Phillips dan Dudík 2008). Grafik nilai AUC Cendrawasih Merah ditunjukan dalam Gambar 3 . Menurut Baldwin (2009), nilai AUC dengan rentang nilai kurang 0.7 menunjukkan bahwa hasil pemodelan memiliki akurasi yang kurang baik, 0.7 sampai 0.9 akurasinya tergolong baik, dan apabila nilai AUC lebih dari 0.9 maka akurasinya tergolong sangat baik.

Gambar 2. Titik perjumpaan Cendrawasih merah di SKW I Waisai Raja Ampat

Gambar 3. Grafik AUC pada pemodelan distribusi spasial Cendrawasih Merah

Variabel yang digunakan dalam memprediksi distribusi spasial Cendrawasih Merah adalah Variabel Elevasi, Kelerengan, Tutupan Lahan, Jarak dari Hutan Primer, Jarak dari Hutan Sekunder, Rata-rata NDVI (Normalized Different Vegetation Index), Jarak dari areal pemukiman, dan Jarak dari areal pertanian. Untuk Model distribusi spasial Cendrawasih Merah tidak ada variabel yang berkorelasi kuat. Variabel dijalankan dengan 10 kali replikasi, kurva hasil replikasi tersebut disajikan dalam Gambar 4.

Gambar 4. Kurva respons variabel lingkungan bagi distribusi spasial Cendrawasih merah

Berdasarkan Tabel 4 diatas terdapat 2 variabel lingkungan yang paling mempengaruhi hasil model MaxEnt pada distribusi Cendrawasih merah yaitu jarak dari areal pertanian dan jarak dari areal pemukiman. Cendrawasih Merah dapat ditemukan tidak jauh dari areal pertanian dan areal pemukiman, satwa ini tidak terlalu terpengaruh dengan aktivitas manusia selama tidak merasa terancam. Menurut Welty (1982) dan Gregory et al. (2004) dalam Tamnge (2016) burung merupakan satwaliar yang dapat hidup di hampir semua tipe habitat, memiliki mobilitas yang tinggi serta kemampuan beradaptasi dengan berbagai tipe habitat yang luas.

Perbatasan areal hutan dengan areal non hutan, merupakan wilayah ekoton. Perbedaan tipe tegakan di areal hutan dan areal non hutan dapat menyebabkan terjadinya fragmentasi dan menciptakan hadirnya habitat ekoton dan efek tepi. Kehadiran ekoton seringkali menciptakan habitat bagi spesies yang toleran terhadap daerah terbuka, sedangkan efek tepi diyakini memberikan dampak positif terhadap komunitas burung. Hal ini disebabkan oleh habitat ekoton memiliki kelimpahan pakan yang banyak.

Peta prediksi distribusi menunjukkan peluang keberadaan Cendrawasih Merah tersebar di seluruh kawasan hutan Pulau Waigeo, Pulau Gam, Pulau Batanta dan pulau-pulau kecil disekitarnya. Berdasarkan peta persebaran IUCN yang mengacu pada BirdLife Datazone, pesebaran Cendrawasih Merah terdapat di Pulau Waigeo, Pulau Gam, Pulau Batanta, dan Pulau-Pulau Kecil di sekitarnya (Gambar 5). Peta persebaran Cendrawasih Merah berdasarkan hasil MaxEnt sebagaimana disajikan pada Gambar 6. Pada peta hasil pemodelan semakin merah warna gradient menunjukan probablitas kehadiran satwa yang semakin tinggi.

Gambar 5 Peta persebaran Cendrawasih Merah menurut BirdLife International

Gambar 6 Peta Prediksi Distribusi Spasial Cendrawasih Merah

2. Cendrawasih Botak (Cicinnurus respublica)

Titik perjumpaan atau data kehadiran (presence) yang digunakan dalam pemodelan distribusi spasial Cendrawasih Botak adalah 42 titik (Gambar 7). Hasil pemodelan untuk Cendrawasih Botak cukup baik yaitu 0.889 dan dengan standar deviasi 0.028. Grafik nilai AUC pemodelan distribusi spasial Cendrawasih Botak sebagaimana disajikan pada Gambar 8.

Gambar 7 Titik Perjumpaan Cendrawasih Botak di SKW I Waisai Raja Ampat

Gambar 8. Grafik AUC pada pemodelan distribusi spasial Cendrawasih Botak

Gambar 9. Kurva respons variabel lingkungan bagi distribusi spasial Cendrawasih Botak

Variabel yang digunakan dalam memprediksi distribusi spasial Cendrawasih Botak adalah Variabel Elevasi, Kelerengan, Tutupan Lahan, Jarak dari Hutan Primer, Jarak dari Hutan Sekunder, Rata-rata NDVI (Normalized Different Vegetation Index), Jarak dari areal pemukiman, dan Jarak dari areal pertanian. Untuk Model distribusi spasial Cendrawasih Botak tidak ada variabel yang berkorelasi kuat. Variabel dijalankan dengan 10 kali replikasi, kurva hasil replikasi tersebut disajikan dalam Gambar 9.

Berdasarkan Tabel 5 diatas terdapat 2 variabel lingkungan yang paling mempengaruhi hasil model MaxEnt pada distribusi Cendrawasih Botak yaitu elevasi dan tutupan lahan. Cendrawasih Botak memiliki probabilitas kehadiran lebih tinggi pada elevasi 200 m ke atas. Menurut Pratt dan Beehler (2015) serta Gregory (2017), Cendrawasih Botak lebih umum dijumpai di perbukitan daripada di dataran rendah. Selain elevasi, variabel tutupan lahan merupakan salah satu variabel yang paling mempengaruhi hasil model MaxEnt. Berdasarkan hasil pemodelan, Cendrawasih Botak memiliki probabilitas perjumpaan yang tinggi pada hutan sekunder. Menurut Welty (1982) dan Gregory et al. (2004) dalam Tamnge (2016) burung merupakan satwaliar yang dapat hidup di hampir semua tipe habitat, memiliki mobilitas yang tinggi serta kemampuan beradaptasi dengan berbagai tipe habitat yang luas. Probabilitas keberadaan Cendrawasih Botak di hutan sekunder bisa jadi dikarenakan oleh kelimpahan pakan yang lebih banyak dibandingkan dengan hutan primer.

Peta prediksi distribusi menunjukkan peluang keberadaan Cendrawasih Botak tersebar di seluruh kawasan hutan Pulau Waigeo, Pulau Gam, Pulau Batanta dan pulau-pulau kecil disekitarnya. Berdasarkan peta persebaran IUCN yang mengacu pada BirdLife Datazone, pesebaran Cendrawasih Botak terdapat di Pulau Waigeo, Pulau Gam, Pulau Batanta, dan Pulau-Pulau Kecil di sekitarnya (Gambar 10). Peta persebaran Cendrawasih Botak berdasarkan hasil MaxEnt sebagaimana disajikan pada Gambar 11.

Gambar 10 Peta persebaran Cendrawasih Botak menurut BirdLife International

Gambar 11 Peta Prediksi Distribusi Spasial Cendrawasih Botak

3. Maleo Waigeo (Aepypodius bruijnii)

Titik perjumpaan atau data kehadiran (presence) yang digunakan dalam pemodelan distribusi spasial Maleo Waigeo adalah 30 titik (Gambar 12). Hasil pemodelan untuk Maleo Waigeo sangat baik yaitu 0.984 dan dengan standar deviasi 0.006. Grafik nilai AUC pemodelan distribusi spasial Maleo Waigeo sebagaimana disajikan pada Gambar 13.

Gambar 12 Titik Perjumpaan Maleo Waigeo di SKW I Waisai Raja Ampat

Gambar 13. Grafik AUC pada pemodelan distribusi spasial Maleo Waigeo

Gambar 14. Kurva respons variabel lingkungan bagi distribusi spasial Maleo Waigeo

Variabel yang digunakan dalam memprediksi distribusi spasial Maleo Waigeo adalah Variabel Elevasi, Kelerengan, Tutupan Lahan, Jarak dari Hutan Primer, Jarak dari Hutan Sekunder, Rata-rata NDVI (Normalized Different Vegetation Index), Jarak dari areal pemukiman, dan Jarak dari areal pertanian. Untuk Model distribusi spasial Maleo Waigeo tidak ada variabel yang berkorelasi kuat. Variabel dijalankan dengan 10 kali replikasi, kurva hasil replikasi tersebut disajikan dalam Gambar 16.

Berdasarkan Tabel 5 diatas terdapat 2 variabel lingkungan yang paling mempengaruhi hasil model MaxEnt pada distribusi Maleo Waigeo yaitu elevasi dan jarak dari hutan sekunder. Maleo Waigeo memiliki probabilitas kehadiran lebih tinggi pada elevasi 600 m ke atas. Menurut Pratt dan Beehler (2015) serta Gregory (2017), Maleo Waigeo memiliki habitat di dataran tinggi. Selain elevasi, variabel jarak dari hutan sekunder merupakan salah satu variabel yang paling mempengaruhi hasil model MaxEnt, Maleo Waigeo memiliki probabilitas perjumpaan yang tinggi pada areal yang jauh dari hutan sekunder.

Peta prediksi distribusi menunjukkan peluang keberadaan Maleo Waigeo tersebar di seluruh kawasan hutan Pulau Waigeo. Berdasarkan peta persebaran IUCN yang mengacu pada BirdLife Datazone, pesebaran Maleo Waigeo hanya terdapat di Bagian Timur Pulau Waigeo (Gambar 15). Peta persebaran Maleo Waigeo berdasarkan hasil MaxEnt sebagaimana disajikan pada Gambar 16. Berdasarkan hasil pemodelan spasial Maleo Waigeo, dimungkinkan untuk dilakukannya survey lebih lanjut, untuk mengidentifikasi potensi habitat Maleo Waigeo di bagian Barat Pulau Waigeo.

Gambar 15 Peta persebaran Maleo Waigeo menurut BirdLife International

Gambar 16 Peta Prediksi Distribusi Spasial Maleo Waigeo

 

Penulis: Ahmat Deni Rojabsani, S.Hut (Calon Analis Konservasi Kawasan BBKSDA Papua Barat)

 

REFERENSI

Lee-Yaw J, L. McCune J, Pironon S, N. Sheth S. 2022. Species distribution models rarely predict the biology of real populations. Ecography (Cop). 2022(6). doi:10.1111/ecog.05877

BirdLife International and Handbook of the Birds of the World (2022) Bird species distribution maps of the world. Version 2022.1. Available at http://datazone.birdlife.org/species/requestdis.

Cory Merow, Matthew J. Smith dan John A. Silander, Jr. 2013. A practical guide to MaxEnt for modeling species’ distributions: what it does, and why inputs and settings matter. Ecography, 36: 1058-1069.

Elith J, Franklin J. 2013. Species Distribution Modeling. Encycl Biodivers Second Ed. 6:692–705. doi:10.1016/B978-0-12-384719-5.00318-X.

Hallstan S. 2011. Species Distribution Models – Ecological Applications for Management of Ecological Applications for Management of Biodiversity. Swedish University of Agricultural Sciences.

NatureServe and IUCN (International Union for Conservation of Nature) 2018. Spilocuscus papuensis. The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2018-2. https://www.iucnredlist.org. Downloaded on 05 January 2019

Philips SJ, Anderson RP, Dudik M, Schapire RE, Blair M. 2017. Opening the black box: an open-source release of MaxEnt. In Ecography.

Pratt, Thane K and Bruce M. Beehler. 2015. Birds of New Guinea, Second Edition. Princeton University Press, Princeton, NJ, USA

Rahman DA, Condro AA, Giri MS. 2016. Model Distribusi Spesies : Maximum Entropy. Bogor (ID) : IPB Press

Tamnge, Fadila. 2016. Ekoton Dan Efek Tepi Pada Komunitas Burung Di Tegakan Hutan Tanaman Hutan Pendidikan Gunung Walat [Thesis]. Bogor : IPB

Welty JC. 1982. The Life of Bird, 3 rd Edition. Philadelphia (USA): Saunders College.

Gregory RD, Gibbons DW, Donald PF. 2004. Bird cencus and survey techniques. Di dalam: Sutherland WJ, Newton I, Green RE, editor. Bird Ecology and Conservation; A Handbook of Techniques. Oxford (GB): Oxford University Pr.