Pengembangan Ekowisata Terintegrasi di Kampung Waifoi Papua Barat

Pendahuluan

Hutan bukan hanya sekedar ruang geometris kosong yang hanya berisi flora dan fauna untuk dikelola dengan metode ilmiah yang kaku. Persepsi pengelolaan hutan yang kaku dan hanya menekankan pada aspek pelarangan, pengawasan serta mengandalkan dominasi negara yang kuat, pada realitasnya telah banyak menyebabkan teraleniasinya masyarakat sekitar hutan dan cenderung anti sosial (Cahyono 2013; Soedomo 2013). Safitri (2013) bahkan telah menguraikan dengan baik bahwa hutan dan kawasan hutan juga memiliki konstruksi sosial, hukum, dan administrasi yang masing-masing mengandung implikasi yang signifikan terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Dengan demikian, konteks pengelolaan sumber daya hutan tidaklah dapat dilepaskan dari konteks sosial, ekonomi hingga politik disamping tetap memperhatikan konteks biofisik dan biodiversitasnya.

Badan Pusat Statistik (2019) telah mencatat setidaknya terdapat 21.385 desa yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan dengan jumlah rumah tangga mencapai sekitar 8.643.228 rumah tangga. Keberadaan masyarakat, desa, beserta sistem sosial yang telah berelasi dengan kawasan hutan membuat upaya-upaya pengelolaan kawasan juga harus lebih responsif terhadap keberadaan mereka. Penelitian Massiri et al. (2016) telah menunjukkan bahwa masyarakat lokal disekitar Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) ternyata tidak hanya memiliki motivasi kebutuhan material saja terhadap hutan TNLL melainkan juga memiliki motivasi sosial dan motivasi moral yang juga tinggi sehingga perlu dilibatkan dalam pengelolaan. Begitu juga penelitian Sadono (2013) yang menemukan bahwa masyarakat turut berpartisipasi dalam menjaga kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dalam rangka menjaga tata air dan mencegah terjadinya banjir di wilayahnya. Mutiono (2020) juga menemukan bahwa masyarakat disekitar kawasan TWA Sorong memiliki persepsi positif dalam menjaga kawasan konservasi, namun memerlukan adanya komunikasi intensif dan kolaborasi untuk meminimalisir perbedaan pemahaman mengenai batas kawasannya. Dengan demikian proses-proses pengelolaan yang melibatkan masyarakat dalam mengelola kawasan konservasi menjadi penting untuk dilakukan.

Pemberdayaan sebagai bagian dari proses pembangunan yang melibatkan masyarakat, pada praktiknya dapat berlangsung secara top down maupun partisipatif sesuai dengan konteks kebutuhannya. Walau demikian, pemberdayaan yang lebih menekankan struktur vertikal lebih rentan terjadinya salah pengertian yang tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat sehingga dapat menimbulkan adanya dominasi, ketimpangan serta menumbuhkan budaya bisu (Mutiono et al. 2018). Efek pendekatan top down dalam pembangunan setidaknya telah ditunjukkan oleh Suryawan (2015) yang menemukan adanya rupturasi dan transformasi sosial budaya masyarakat Papua akibat proses intervensi pembangunan yang dilakukan melalui dominasi struktur vertikal yang lebih berbasis kapitalistik.

Kampung Waifoi merupakan salah satu kampung penyangga kawasan konservasi Cagar Alam Waigeo Timur (CAWT). Sebagai kampung penyangga kawasan konservasi, BBKSDA Papua Barat sebagai pengelola kawasan turut melibatkan masyarakat setempat dalam konteks melakukan pengelolaan CAWT supaya interaksi masyarakat dengan hutan cenderung kearah yang lebih positif. Diharapkan, pelibatan masyarakat dalam bentuk kegiatan-kegiatan pemberdayaan dapat memberikan peningkatan pengetahuan, sikap, dan perilaku konservasi masyarakat setempat untuk mendukung upaya pelestarian kawasan CAWT yang sekaligus juga diharapkan mampu memberikan peningkatan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat dalam mempertahankan eksistensinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dinamika dalam pemberdayaan masyarakat di Kampung Waifoi dan merencanakan strategi pemberdayaan yang tepat sebagai inovasi pengembangan masyarakat secara partisipatif.

Penelitian ini dilakukan dengan metode studi kasus yang diperkuat dengan metode Participatory Rural Appraisal (PRA) untuk menilai dan memahami kondisi kampung secara partisipatif. Proses pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara insidental, fokus grup diskusi, dan studi dokumen. Penelitian dilaksanakan pada Bulan Februari 2020 di Kampung Waifoi Distrik Tiplol Mayalibit Kabupaten Raja Ampat. Pengambilan data secara partisipatif diikuti oleh 18 warga untuk menyusun sketsa kampung, kalender musim, sejarah desa, kajian mata pencaharian, dan kajian kebutuhan masyarakat. Observasi lapangan, studi dokumen dan wawancara insidental merupakan bagian dari metode triangulasi untuk melakukan check dan recheck satu sumber bukti dengan sumber bukti lainnya. Analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif yaitu analisis untuk memperoleh temuan-temuan penting dari data yang telah dikumpulkan sehingga dapat memperoleh pemahaman (verstehen) dari makna-makna yang muncul dan dapat digunakan sebagai bahan penyusunan perencanaan pemberdayaan masyarakat.

 

Dinamika Pemberdayaan

Kampung Waifoi adalah salah satu kampung yang berada di Distrik Tiplol Mayalibit Kabupaten Raja Ampat. Untuk mencapai Kampung Waifoi, diperlukan waktu ±2 jam perjalanan menggunakan perahu motor tempel 15 pk dari Pelabuhan Waisai Raja Ampat atau ± 1 jam dengan moda transportasi yang sama dari Pelabuhan Warsambin Raja Ampat. Sacara administratif, sebelah utara kampung berbatasan dengan Kampung Kapadiri, sebelah selatan kampung berbatasan dengan Kampung Warimak, sebelah barat kampung berbatasan dengan Kampung Kabilol, dan sebelah timur kampung berbatasan dengan Gunung Kapak Balaun.

Nama kampung Waifoi berasal dari bahasa Maya yang merupakan salah satu suku asli di wilayah Kepulauan Raja Ampat. Waifoi berasal dari kata “Wa” yang berarti Air dan “Foi” yang berarti pohon kayu, sehingga secara harfiah diartikan sebagai kampung dengan air yang mengalir di bawah pohon. Penamaan tersebut tidak dapat dilepaskan dari asal usul awal pembentukan kampung yang pada mulanya adalah sebagai tempat persinggahan penduduk untuk mencari dan mendapatkan air tawar. Karena karakteristik lokasinya yang luas dan memiliki sumber air yang baik serta tanahnya yang subur, kemudian dibangunlah pemukiman-pemukiman di wilayah tersebut tepatnya di bibir Pantai Teluk Mayalibit yang diawali oleh 5 keluarga dari Marga Gaman. Kampung Waifoi secara definitif diakui sebagai kampung oleh pemerintah setempat pada tahun 1972. Data kependudukan Kampung Waifoi tahun 2017 mencatat bahwa jumlah penduduk di Kampung Waifoi mencapai 215 jiwa dengan sebaran laki-laki sebanyak 105 jiwa dan perempuan sebanyak 110 jiwa. Mayoritas penduduk Kampung Waifoi memeluk Agama Kristen Protestan sedangkan matapencaharian masyarakat didominasi oleh Nelayan dan Petani Hutan.

Letak Kampung Waifoi berdasarkan sketsa kampung dan observasi yang dilakukan menunjukkan bahwa kampung berada pada posisi yang sangat strategis dari segi ketersediaan sumber daya alamnya. Dari sketsa kampung dapat dilihat bahwa dibelakang kampung terdapat hutan alam yang masih sangat alami yang terhimpun ke dalam lanscape Gunung Kapak Balaun dengan berbagai hasil hutannya baik kayu maupun non-kayu, sedangkan di bagian depan kampung terdapat Laut Teluk Mayalibit yang menyimpan potensi laut yang sangat melimpah. Tampak bahwa dalam pemenuhan kebutuhan subsisten masyarakat dapat dengan mudah dipenuhi melalui ketersediaan sumber daya alam yang melimpah yang melingkupi Kampung Waifoi. Namun demikian, dengan kondisi tersebut, perlu dilakukan pendampingan kepada masyarakat agar masyarakat dapat terhindar dari fenomena kutukan sumber daya (resource curse)[1]. Di sisi lain, di dalam sumber daya yang melimpah baik di hutan maupun di laut terdapat flora dan fauna yang dilindungi secara undang-undang sehingga prinsip kehati-hatian dalam pemanfaatan sumber daya alam perlu diperkenalkan kepada masyarakat agar kehidupan subsisten mereka terhadap sumber daya alam yang ada disekitarnya tidak bertentangan dengan hukum positif yang ada.

Berdasarkan hasil pengkajian kalender musim di Kampung Waifoi, komoditas hasil alam yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat setempat disajikan dalam tabel 1.

 

 

Tabel 1. Komoditas hasil alam yang dimanfaatkan masyarakat

No Nama Komoditas Bulan Dimanfaatkan
1 Teripang Oktober – Desember
2 Lola Oktober – Desember
3 Ikan Goropa Oktober – Desember
4 Sagu Januari – Desember
5 Cempedak Januari – Februari
6 Jambu Maret – April
7 Langsat Januari – Maret
8 Rambutan Februari – Juli

Keterangan: sebelum tahun 2016 pemanfaatan hasil hutan kayu untuk komersil dan perburuan satwa masih dilakukan namun seiring kegiatan penyuluhan kehutanan yang terus dilakukan di Kampung Waifoi, setelah tahun 2016 pemanfaatan kayu untuk komersil dan perburuan satwa cenderung tidak dilakukan lagi.

Dari komoditas yang dimanfaatkan oleh masyarakat, seluruhnya menunjukkan bahwa masyarakat memanfaatkan hasil alam yang ada di sekitar kampungnya baik yang disediakan oleh hutan maupun oleh laut. Hal tersebut menunjukkan bahwa tipe masyarakat Kampung Waifoi adalah tipe masyarakat berburu dan meramu yang kehidupannya telah disediakan oleh alam. Dengan fakta demikian, masyarakat kampung Waifoi menjadi masyarakat yang tergolong awam dengan kegiatan-kegiatan budi daya intensif yang membutuhkan waktu, usaha dan teknik tersendiri untuk memperoleh hasil panen dari kegiatan yang dilakukan. Hal tersebut terbukti dari kegiatan pemberdayaan yang pernah dilakukan sebelumnya di kampung tersebut tahun 2016 melalui kegiatan pertanian intensif untuk bertanam sayuran yang performanya belum menunjukkan keberhasilan.

Kondisi masyarakat Kampung Waifoi terkini menunjukkan adanya kecenderungan peralihan minat matapencaharian. Sebelum tahun 2016, matapencaharian masyarakat mayoritas sebagai pemburu, nelayan, petani sagu, dan berdagang. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri karena memang potensi alam dan laut Kampung Waifoi yang sangat melimpah. Bahkan, dulu masih sangat marak penjualan satwa burung dilindungi di wilayah tersebut karena memang hutan di wilayah Teluk Mayalibit menjadi salah satu habitat burung-burung dilindungi seperti Kakatua Koki (Cacatua galerita), Nuri Bayan (Eclectus roratus), Kasturi Kepala Hitam (Lorius lory), Julang Papua (Rhyticeros plicatus), dan lain sebagainya.

Pascatahun 2016, seiring kegiatan penyuluhan kehutanan baik yang dilakukan oleh Balai Besar KSDA Papua Barat maupun lembaga pemerintahan dan lembaga swadaya masyarakat lainnya yang banyak menekankan pentingnya konservasi alam dan peluang pengembangan ekowisata, sebagian masyarakat secara berangsur-angsur mulai meminati pengembangan ekowisata di wilayahnya. Hingga saat ini tercatat sudah terbangun 3 homestay di wilayah Kampung Waifoi yang memfasilitasi wisatawan minat khusus untuk menikmati keindahan alam Teluk Mayalibit terutama yang berada di sekitar Kampung Waifoi melalui paket-paket wisata yang ditawarkan. Melalui munculnya minat ekowisata dan kesadaran konservasi dari manfaat yang diperoleh, perburuan dan perdagangan satwa dilindungi dari wilayah Kampung Waifoi dapat dikatakan sudah nihil.

Tabel 2. Atraksi Ekowisata di Kampung Waifoi

 

Time

 

Over Tourism Package

 

Tourism Attraction

2D1N Overnight in Saufon Homestay ·       Blue River: Ajelly Pool -Penish Rock

·       Mangrove Kayaking

·       Night Trekking/Night Fishing

·       Trekking to Panorama –Birdwatching.

·       Pin Raja Ampat

·       Travel to Waisai

·       Birdwatching

·       Traditional Cooking.

·       Travel to Waisai

·       Jungle Trekking

·       Watching Panorama

·       Night Trekking.

·       Birdwatching Red BoP

·       Trekking to Bat Cave

·       Waterfall.

·       Wooden Fabric Processing

·       Traditional Fishing

·       Visit Women Crafting.

·       Sago Processing (Tokok Sago)

2D1N Overnight in Kamtabay Homestay
2D1N Overnight in Lainserongga Homestay
3D2N Mayalibit Jungle Trekking
3D2N Maya Tribe Cultural Trip
4D3N Journey of Mayalibit Bay
5D4N Long Journey of Mayalibit Bay

 

Adanya kecenderungan baru dalam matapencaharian masyarakat Kampung Waifoi untuk mengembangkan ekowisata, ternyata menimbulkan diferensiasi persepsi antar masyarakat dikampung tersebut. Hasil fokus grup diskusi menunjukkan adanya diferensiasi persepsi terhadap minat masyarakat dalam mengembangkan mata pencahariannya. Diferensiasi persepsi yang muncul disajikan dalam tabel 3.

Tabel 3. Diferensiasi persepsi minat matapencaharian

Kelompok Minat Persepsi
Ekowisata (Paket wisata alam dan budaya) Melalui ekowisata nyata mampu menghasilkan ekonomi dan juga mengubah gaya hidup masyarakat dari berburu menjadi penjaga alam.
Kehutanan (Pemanfaatan Sagu) Dari dulu masyarakat sudah memanfaatkan sagu, sebagian untuk hidup sebagian juga untuk dijual. Itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat secara turun temurun.
Pertanian (Budi daya Sayuran) Budi daya sayuran pernah diajarkan kepada masyarakat tapi belum berhasil karena tidak didampingi, kalau di dampingi pasti akan berhasil.
Kesenian (kerajinan tangan) Mama-mama di Kampung Waifoi pernah mendapatkan pelatihan dan pendampingan dalam pembuatan kerajinan tangan oleh NGO sehingga memiliki keterampilan yang dapat terus dikembangkan untuk penyediaan oleh-oleh khas Raja Ampat.

Sumber: Olahan peneliti

Dari tabel 3 dapat dipahami bahwa setidaknya ada 4 minat yang terdiferensiasi di masyarakat Kampung Waifoi. Terdapat minat ekowisata yang merupakan usulan dari sebagian masyarakat yang telah menekuni ekowisata yang pada umumnya didominasi oleh kelompok pemuda. Terdapat minat pemanfaatan sagu yang merupakan usulan dari sebagian masyarakat dari kelompok tua yang memang sejak awal kehidupannya di Kampung Waifoi telah subsisten dengan memanfaatkan sagu yang ada di hutan disekitar kampung. Terdapat minat pertanian yang merupakan usulan dari kelompok masyarakat yang masih berusaha mencoba mengembangkan budi daya sayur pasca kegiatan pemberdayaan pertanian intensif yang sebelumnya pernah dilakukan namun belum berhasil. Terdapat minat kerajian yang merupakan usulan dari kelompok mama-mama yang sebagian kesehariannya diisi dengan membuat kerajinan tangan berupa tas rajutan. Sebenarnya masih terdapat minat kelautan (budi daya teripang), namun karena batasan pemberdayaan oleh pengelola kawasan konservasi CAWT adalah di wilayah darat (terestrial), maka untuk minat kelautan yang merupakan usulan dari kelompok masyarakat nelayan, tidak dimunculkan.

Diferensiasi persepsi terhadap minat matapencaharian ini telah menimbulkan kesan adanya pertentangan antar kelompok minat dalam hal minat mana yang paling sesuai untuk dikembangkan dalam proses pemberdayaan yang akan dilakukan di Kampung Waifoi. Oleh sebab itu diperlukan inovasi yang dapat memformulasikan perbedaan minat serta meminimalisir benturan kepentingan dalam mengembangkan kebutuhan masyarakat dalam program pemberdayaan yang akan dilakukan.

 

Formulasi Inovasi Pemberdayaan

Pemberdayaan menekankan pada konsep kemandirian di masa mendatang, oleh sebab itu praktik-praktik pemberdayaan harus menghindari pola-pola yang dapat menyebabkan ketergantungan. Dengan demikian, perencanaan pemberdayaan secara partisipatif menjadi penting diterapkan sehingga masyarakat mampu melakukan kontrol atas sumber-sumber kekuasaan untuk dapat memperoleh kemandirian. Untuk itu, penelitian ini menerapkan prinsip-prinsip partisipatif secara ketat untuk memperoleh formulasi inovasi pemberdayaan yang tepat, sebagai berikut (Djohari 2013; Aidit 1964):

  1. Prinsip mengutamakan yang terabaikan (keberpihakan)

Dalam kelompok masyarakat pasti terdapat kelompok yang terabaikan atau tidak memiliki daya untuk melakukan sesuatu, melalui prinsip ini, keberadaan mereka harus dilibatkan baik dalam pengambilan data maupun pada saat-saat diskusi agar kesempatan-kesempatan berpendapat diberikan merata (tidak hanya fokus kepada yang vokal dalam berbicara/ berpendapat).

  1. Prinsip pemberdayaan masyarakat

Pemberdayaan berarti mengubah pola hubungan kekuasaan (power relationship) antara kelompok dominan (powerfull) dengan kelompok lemah (powerless) sehingga proses-proses yang dilakukan harus menghindari eksistensialisme kelompok dominan yang mempertahankan relasi dominasi.

  1. Masyarakat sebagai pelaku utama, orang luar sebagai fasilitator

Peneliti atau dalam hal ini pihak luar yang datang ke masyarakat harus memposisikan dirinya sebagai fasilitator dengan menanggalkan segala status dan strata yang dimilikinya. Masyarakat harus diposisikan sebagai pelaku dan subyek utama yang dianggap lebih tahu sehingga fasilitator datang dengan rendah hati untuk belajar dan menggali dari masyarakat. Eksistensialisme orang luar harus dihindari karena baik secara langsung maupun tidak langsung akan mendominasi dan melemahkan masyarakat untuk terbuka. Membangun keterhubungan emosional dengan kesetaraan menjadi bagian penting untuk keberterimaan dan keterbukaan masyarakat dalam berpartisipasi.

  1. Prinsip santai dan informal

Hubungan yang kaku dan formal akan membuat masyarakat enggan untuk terbuka. Peneliti harus mampu menunjukkan sikap luwes, akrab, santai dan melebur dengan masyarakat supaya masyarakat nyaman dengan suasana yang dibangun untuk mengungkapkan isi pikirannya.

  1. Prinsip saling belajar dan menghargai perbedaan

Tata sosial dan pengetahuan masyarakat sangat mungkin berbeda satu dengan lainnya termasuk berbeda dengan pengetahuan ilmiah yang diperoleh dalam pendidikan formal. Peneliti harus menghindari posisi mendominasi, menggurui dan menyalahkan terhadap apapun yang disampaikan oleh masyarakat. Peneliti harus lebih banyak mendengarkan dan memberikan perhatian terhadap apa-apa yang disampaikan oleh masyarakat sehingga mereka antusias untuk menceritakan apa yang mereka ketahui. Adapun perbedaan-perbedaan cukup dijadikan sebagai catatan-catatan tanpa perlu diungkap dan dibenturkan secara terbuka.

  1. Prinsip triangulasi

Pengetahuan masyarakat pada umumnya berasal dari pengalaman dan tradisi oral, oleh sebab itu akan sangat mungkin terdapat perbedaan informasi antara satu orang dengan lainnya baik dipengaruhi usia, jenis kelamin, dan latar belakang lainnya. Dengan demikian, peneliti harus membiasakan diri tidak mengambil kesimpulan dari satu sumber informasi tetapi harus melakukan check and recheck terhadap sumber lainnya apakah mengonfirmasi melalui sumber bacaan, melalui informan lainnya atau melalui diskusi kelompok/ terfokus.

  1. Prinsip mengoptimalkan hasil

Belajar bersama masyarakat dan melakukan pemberdayaan masyarakat bukan untuk diri sendiri tetapi untuk mendukung kebutuhan pengembangan masyarakat di masa sekarang dan mendatang sehingga dalam pengumpulan data harus fokus pada tujuan yang akan dicapai tidak perlu mengetahui hal-hal detail yang dibutuhkan pribadi artinya cukup ketahuilah secukupnya (optimal ignorance), tidak harus mengajak masyarakat untuk berpikir lebih detail dan ilmiah sepenuhnya tetapi cukup memastikan hasil dapat diperoleh melalui kesepakatan-kesepakatan dengan informasi yang cukup.

  1. Prinsip orientasi praktis

Harus dipahami bahwa metode pengkajian bukanlah hanya sekedar untuk menerapkan metode yang ada bersama masyarakat melainkan untuk menginternalkan 3 agenda utama yaitu 1) pengkajian (mengumpulkan data dan informasi), 2) pembelajaran (sama-sama belajar dan sepaham), dan 3) pengembangan program aksi bersama-sama. Oleh sebab itu, proses yang dilakukan haruslah mampu mendapatkan data, mampu menjadi media pembelajaran bersama dan mampu menjadi landasan untuk mengembangankan program aksi bersama masyarakat.

  1. Prinsip transformasi dan belajar dari kesalahan

Masyarakat adalah komunitas yang dinamis. Mereka telah berkembang bersama zaman dalam menjalani kehidupan. Dengan demikian, apa yang kita kaji saat ini, sangat mungkin terkait dengan masa lalu masyarakat dan kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi. Oleh sebab itu, dalam pengambilan data haruslah dibarengi dengan mengetahui apa yang terjadi di masa lalu, perubahan-perubahan yang terjadi serta masalah-masalah/sebab-sebab perubahan itu terjadi.

  1. Prinsip “3 Sama”, “4 Jangan”, dan “4 Harus”

prinsip “3 Sama”, “4 Jangan”, dan “4 Harus” merupakan dasar yang harus dipegang teguh dalam mengkaji masyarakat agar mereka mau terbuka untuk menyampaikan kondisi sesungguhnya yang dihadapi. Prinsip “3 Sama” adalah sama makan, sama kerja dan sama tidur dengan masyarakat. Prinsip “4 Jangan” adalah jangan tidur dirumah kaum penghisap, jangan menggurui, jangan merugikan tuan rumah dan jangan mencatat di hadapan yang ditanya. Prinsip “4 Harus” adalah harus melaksanakan “3 Sama”, harus rendah hati, sopan santun dan mau belajar, harus tahu bahasa dan adat istiadat setempat dan harus membantu memecahkan kesulitan-kesulitan tuan rumah atau masyarakat setempat.

Dari proses diskusi partisipatif yang telah dilakukan dengan masyarakat Kampung Waifoi, diperoleh beberapa masukan dari masyarakat mengenai hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat dan berpotensi untuk dilakukan pengembangan. Adapun polarisasi kebutuhan masyarakat yang telah dihimpun dapat dirangkum sebagai berikut.

 

Tabel 4. Polarisasi kebutuhan masyarakat

Kebutuhan Aspek Pendukung Keterangan
Dukungan pengembangan ekowisata Telah terdapat homestay, memiliki potensi alam yang indah serta telah memiliki paket wisata perjalanan yang sudah berjalan. Ekowisata diperlukan sebagai inti dari konsep pemberdayaan masyarakat yang mampu meningkatkan motivasi untuk menjaga kelestarian sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui edukasi dan potensi alam, lanscape dan pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat.
Dukungan pengembangan budi daya sayuran Pernah mendapatkan pelatihan budi daya sayuran dengan konsep pemenuhan kebutuhan homestay. Budi daya sayuran dapat diintegrasikan untuk keperluan subsisten dan kebutuhan homestay dalam menyajikan makanan bagi pengunjung/tamu. Disamping itu juga dapat dikembangkan sebagai salah satu atraksi wisata baru.
Dukungan pemanfaatan sagu Memiliki potensi sagu yang melimpah, sagu telah menjadi makanan pokok dan dapat dijual. Sagu merupakan salah satu makanan pokok masyarakat dan diolah secara tradisional, selain dapat untuk pemenuhan kebutuhan pangan, metode pemanenan sagu secara tradisional juga dapat menjadi atraksi ekowisata yang unik. Disamping itu ragam pemanfaatan sagu menjadi produk olahan juga dapat menjadi peluang usaha.
Dukungan pengembangan usaha kerajinan tangan Telah dimilikinya kemampuan pembuatan kerajinan tangan dan peluang pemasarannya Mama-mama di Kampung Waifoi telah memiliki kemampuan untuk pembuatan kerajinan berupa pembuatan tas rajutan khas Raja Ampat.

Pemberdayaan sebagai sebuah proses penguatan masyarakat terhadap kemampuannya dalam mengelola sumber daya yang dimiliki, polarisasi kebutuhan yang telah diperoleh dilakukan formulasi supaya dapat menjadi sebuah konsep pemberdayaan yang dapat diterima oleh seluruh lapisan diferensiasi berdasarkan polarisasi yang ada. Diskusi partisipatif dengan masyarakat telah menghasilkan konsep “Pengembangan Ekowisata Terintegrasi Berbasis Kampung” atau dapat disebut sebagai konsep PETERBAKA.

PETERBAKA sebagai bagian dari inovasi, dalam penyusunan formulasinya menerapkan prinsip-prinsip inovasi dari Rogers (2003) yaitu memperhatikan 5 aspek utama sebagai berikut:

  1. Keuntungan relative: PETERBAKA berbasis pada usaha-usaha lokal masyarakat yang sudah biasa dilakukan dan telah diketahui nilai manfaat dan keuntungan ekonominya sehingga dengan dilakukan penguatan, akan dengan mudah dipahami rasionalitas keuntungan relativenya.
  2. Kompatibilitas: Inovasi berbasis pada apa yang masyarakat butuhkan dan apa yang masyarakat bisa lakukan karena telah menjadi kebiasaan mereka sehari-hari baik dalam konteks kehutanan, kelautan maupun ekowisata sehingga inovasi PETERBAKA akan lebih kompatibel untuk masyarakat.
  3. Kompleksitas: PETERBAKA dikembangkan dengan menguatkan usaha-usaha lokal masyarakat melalui integrasi dan pengembangan usaha sehingga pelaksanaannya tidak rumit namun berdaya guna.
  4. Dapat Dicoba: Inovasi PETERBAKA berbasis pada usaha lokal masyarakat yang sudah biasa mereka lakukan sehingga akan lebih mudah untuk dilakukan oleh masyarakat.
  5. Dapat Diamati: PETERBAKA dikembangkan langsung di dalam kampung dengan metode yang sederhana sehingga mudah untuk diamati dan dilakukan oleh masyarakat.

Penelitian Fry, Ryley, and Thring (2018) setidaknya telah menunjukkan betapa pentingnya memperhatikan kelima aspek tersebut dalam konteks penentuan keberhasilan difusi inovasi kendaraan berbahan bakar alternatif di Kota Birmingham-Inggris. Begitu juga hasil penelitian Ahmad (2016) yang menunjukkan bahwa prinsip-prinsip inovasi Rogers menjadi bagian penting dalam melakukan difusi inovasi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat untuk kelestarian lingkungan melalui krgiatan Cikapundung Bersih yang digagas oleh Komunitas Kuya Tilubelas. Warner, Lamm, and Silvert (2019) juga menunjukkan bahwa formulasi kelima aspek tersebut dalam difusi inovasi konservasi air di perkotaan Florida-USA menjadi pertimbangan utama adopter dalam mengadopsi inovasi baru.

PETERBAKA merupakan suatu formulasi untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh Kampung Waifoi untuk menciptakan kemandirian masyarakat dengan tetap mempertahankan tujuan kelestarian sumber daya alam dan memberikan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat setempat melalui integrasi simpul-simpul ekonomi yang ada di dalam kampung. Melalui PETERBAKA diharapkan ketergantungan masyarakat pada faktor-faktor eksternal di luar kampung dalam mengembangkan potensinya dapat diminimalisir. Perekonomian diharapkan mampu berputar di dalam kampung sehingga produsen dan konsumen yang muncul lebih banyak dari subyek-subyek yang berasal dari dalam kampung itu sendiri.

PETERBAKA didasari rasionalitas kontekstual bahwa usaha ekowisata telah berjalan di Kampung Waifoi, untuk mendukung pengembangannya, perlu dilakukan pengintegrasian dengan kecenderungan kemampuan dan minat penduduk setempat yaitu budidaya sayuran, usaha kerajinan tangan dan pemanfaatan sagu, sehingga dapat menjadi sistem terintegrasi untuk pemenuhan kebutuhan ekowisata (baik produk maupun atraksi) yang mampu menggulirkan perekonomian masyarakat di dalam kampung. Adapun pemberdayaan masyarakat dengan konsep PETERBAKA secara intensif akan dilakukan selama 5 tahun secara terus menerus untuk dapat memunculkan kemandirian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang diharapkan dapat berimplikasi positif terhadap kelestarian sumber daya alam dan keanekaragaman hayati di sekitar Kampung Waifoi. Adapun perencanaan pemberdayaan selama 5 tahun dijabarkan sebagai berikut.

Tabel 4. Rencana Pemberdayaan PETERBAKA Tahun 2020-2024

No Kegiatan Indikator Keberhasilan Pelaksanaan
1 Reframing konsep pemberdayaan di Kampung Waifoi Kesepahaman konsep PETERBAKA 2020  
2 Pemberian bantuan penunjang sarana ekowisata Peningkatan infrastruktur ekowisata 2020  
3 Pelatihan pengembangan usaha kerajinan tangan Peningkatan keterampilan dan output produk 2021  
4 Pemberian bantuan usaha kerajinan tangan Peningkatan output dan pemasaran produk 2021  
5 Pelatihan budidaya sayuran organik Peningkatan pemahaman masyarakat 2022  
6 Penyusunan rencana lapangan budidaya sayuran organik Tersusunnya rencana lapangan budidaya sayuran organik 2022  
7 Pendampingan implementasi budidaya sayur organik Penanaman sayur organik oleh warga 2022  
8 Pendampingan pascapanen sayuran organik Muncul produk hasil olahan dari sayuran organik 2023  
9 Pemberian bantuan pengembangan budidaya sayuran organik dan olahannya Peningkatan output dari budidaya dan olahannya 2023  
10 Pelatihan pengolahan produk sagu Output produk olahan sagu 2024  
11 Pemberian bantuan penguatan ekowisata terintegrasi berbasis kampung Peningkatan performa ekowisata terintegrasi 2024  
12 Evaluasi pemberdayaan masyarakat di Kampung Waifoi Peningkatan kemandirian, kesejahteraan, dan kelestarian sumber daya alam 2024  

Perencanaan menghendaki implementasi pemberdayaan secara gradual yaitu pada tahun 2020 akan dilakukan reframing konsep pemberdayaan kepada masyarakat serta penguatan ekowisata yang telah berkembang sebagai basis ekonominya. Pada tahun 2021 pemberdayaan akan bergeser pada pengembangan kerajinan tangan untuk mendukung penyediaan cindera mata wisatawan yang hadir untuk menikmati atraksi wisata di Kampung Waifoi. Tahun 2022-2023 pemberdayaan akan bergeser untuk fokus mengembangkan budi daya sayur organik sebagai support bahan baku penyediaan makanan bagi setiap tamu yang datang. Pengembangan difokuskan pada pertanian organik sebagai bagian dari tren yang diminati oleh wisatawan minat khusus. Pada tahun 2024 pemberdayaan akan berfokus pada pengembangan pengolahan sagu dan dukungan pada penguatan ekowisata terintegrasi yang telah dibangun.

Implementasi secara gradual ini akan dilakukan monitoring setiap tahunnya dan akan di evaluasi pada tahun terakhir implementasi. Monitoring dilakukan sebagai bentuk kendali kegiatan setiap tahunnya yang fleksible dan responsif terhadap situasi dan kontekstual kondisi yang terjadi pada tahun berjalan sehingga akan menjadi catatan baru untuk pelaksanaan kegiatan di tahun berikutnya. Evaluasi dilakukan sebagai bentuk penilaian akhir terhadap implementasi seluruh program apakah memiliki dampak yang positif dan dapat dilanjutkan untuk pengembangan lebih lanjut atau perlu adanya perubahan-perubahan mendasar.

Implementasi konsep PETERBAKA akan dilakukan dengan aksi kolaborasi sebagai bagian dari strategi mobilisasi sosial sehingga inovasi pemberdayaan di Kampung Waifoi dapat terdifusi secara konsisten dan persisten. Strategi mobilisasi sosial dilakukan dengan membangun komitmen dan dukungan bebagai pihak yang dapat memberikan pengaruh dalam mobilisasi masyarakat untuk terus berkomitmen menjalankan PETERBAKA hingga tujuan pemberdayaan dapat tercapai.

Implementasi PETERBAKA tentu tidak dapat dilakukan secara eksklusif hanya oleh pengelola kawasan konservasi CAWT saja, namun memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak. Pengelola kawasan bersama mitra NGO lokal yang berfokus berkegiatan di wilayah Teluk Mayalibit akan mengambil posisi fasilitator untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kelompok eksekutor. Kelompok eksekutor yang akan dikuatkan kapasitas dan kapabilitasnya adalah pemerintah desa sebagai kelembagaan formal di Kampung Waifoi dan memiliki peran penting dalam mendorong pengembangan kampung. Kemudian, masyarakat anggota kelompok tani hutan yang telah dibentuk kelembagaannya sebagai organisasi yang akan terjun langsung dalam mewujudkan pengembangan ekowisata terintegrasi, dan yang tidak kalah penting adalah local champion yaitu orang-orang yang memiliki power/ pengaruh di tengah masyarakat Kampung Waifoi namun juga dapat berkomunikasi dengan baik pada fasilitator. Fasilitator dan Eksekutor akan bersama-sama mengembangkan minat kerajinan, pertanian dan kehutanan untuk dapat mendukung pasar internal yaitu ekowisata yang telah berkembang di Kampung Waifoi dan selebihnya akan menjadi barang produksi untuk dipasarkan pada pasar eksternal di Kota Waisai maupun online. Dengan demikian diharapkan pengembangan ekowisata terintegrasi dapat terimplementasi secara efektif.

 

Penutup

Inovasi pemberdayaan memerlukan perencanaan yang partisipatif supaya karakteristik dan kebutuhan sesungguhnya dari masyarakat sasaran dapat diungkap sebagai bahan perencanaan inovasi. Masyarakat Kampung Waifoi masih memiliki karakteristik masyarakat berburu meramu yang mengandalkan hasil alam dan laut yang tersedia di sekitar Kampungnya. Diperoleh 4 diferensiasi minat masyarakat yang menjadi kebutuhan utama untuk dikembangkan yaitu minat pertanian melalui budidaya sayuran, minat kesenian melalui usaha kerajinan tangan, minat kehutanan melalui pemanfaatan sagu, dan minat ekowisata melalui pengembangan wisata minat khusus. Formulasi diferensiasi minat yang dilakukan secara partisipatif menggunakan prinsip inovasi Rogers menghasilkan inovasi perencanaan pemberdayaan PETERBAKA untuk dikembangkan di Kampung Waifoi. PETERBAKA dikembangkan dengan tujuan untuk menciptakan kemandirian masyarakat berbasis usaha lokal di dalam kampung yang terintegrasi sehingga perputaran ekonomi masyarakat dapat terfokus di dalam kampung dengan implikasi peningkatan kesejahteraan, perubahan perilaku masyarakat menjadi lebih konservasionis, dan terjaganya eksistensi kelestarian sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang ada di sekitar Kampung.

Inovasi PETERBAKA akan dikembangkan selama jangka waktu 5 tahun, oleh sebab itu diperlukan konsistensi dan persistensi dari seluruh pihak baik di tataran fasilitator maupun eksekutor dalam memastikan implementasi inovasi dapat berjalan sesuai rencana yang telah disusun. Disetiap sektor pengembangan minat usaha sebaiknya ditentukan seorang local champion untuk memastikan mobilisasi sosial dalam menjalankan pengembangan usaha dapat terus berjalan dikarenakan jarak tempuh fasilitator untuk berkunjung ke Kampung Waifoi termasuk jauh dan berbiaya tinggi sehingga tidak dapat secara terus menerus mengawal proses di lapangan. PETERBAKA merupakan konsep yang fleksibel sehingga dalam proses implementasinya akan bergantung pada konteks situasi yang terjadi di lapangan serta akan terus dilakukan perbaikan sesuai kebutuhan kontekstual. Oleh sebab itu kegiatan monitoring dan evaluasi pemberdayaan secara partisipatif menjadi bagian penting untuk menunjang keberlangsungan implementasi inovasi ini.

Terima kasih diucapkan kepada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat yang telah mendukung dan memfasilitasi seluruh proses penelitian mulai dari proses perencanaan penelitian, pengumpulan data hingga tahap penulisan naskah akhir. Terima kasih juga disampaikan kepada Fauna & Flora International – Indonesia Program Raja Ampat dan rekan-rekan yang telah membantu seluruh proses pengambilan data selama di lapangan.

 

Daftar Pustaka

Ahmad, R. 2016. “Difusi Inovasi Dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Akan Kelestarian Lingkungan.” Sosietas 6 (2): 1–17.

Aidit, Dipa Nusantara. 1964. Kaum Tani Mengganjang Setan-Setan Desa. Jakarta: Jajasan Pembaruan.

Badan Pusat Statistik. 2019. Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2019 Hutan Dan Perubahan Iklim. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Cahyono, Eko. 2013. “Eksklusi Atasnama Konservasi (Studi Kasus Masyarakat Sekitar/ Dalam Kawasan Taman Nasional Ujungkulon Banten).” Sosiologi Reflektif 8 (1): 209–45.

Djohari, R. 2013. Partisipasi, Pemberdayaan, Dan Demokratisasi Komunitas: Reposisi Participatory Rural Appraisal (PRA) Dalam Program Pengembangan Masyarakat. Bandung: Studio Driya Media.

Fry, A, T Ryley, and R Thring. 2018. “The Influence of Knowledge and Persuasion on the Decision to Adopt or Reject Alternative Fuel Vehicles.” Sustainability 10 (2997): 1–20.

Massiri, S D, Bramasto Nugroho, Hariadi Kartodihardjo, and Rinekso Soekmadi. 2016. “Preferensi Dan Motivasi Masyarakat Lokal Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Di Taman Nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi Tengah.” Jurnal Manusia Dan Lingkungan 23 (2): 215–23.

Mutiono. 2020. “Fenomena Dan Konstruksi Komunikasi Masyarakat Di Sekitar TWA Sorong Papua Barat.” Jurnal Komunikasi Pembangunan 18 (1): 67–79.

Mutiono, Sarwititi Sarwoprasodjo, Sudarsono Soedomo, and Heri Budianto. 2018. “Komunikasi Pedagogis Pendidikan Tinggi Kehutanan Dalam Perspektif Kritis.” Jurnal Komunikasi Pembangunan 16 (2): 172–85.

Rogers, Everett M. 2003. Diffusion of Innovations. 5th ed. New York: The Free Press.

Sadono, Y. 2013. “Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merbabu Di Desa Jeruk Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali.” Jurnal Pembangunan Wilayah & Kota 9 (1): 53–64.

Safitri, Myrna A. 2013. “Keniscayaan Transdisiplinaritas Dalam Studi Sosio-Legal Terhadap Hutan, Hukum Dan Masyarakat.” In Kembali Ke Jalan Lurus Kritik Penggunaan Ilmu Dan Praktek Kehutanan Indonesia. Yogyakarta: Tanah Air Beta.

Soedomo, Sudarsono. 2012. Obrolan Nusantara “Menyambut Indonesia Baru.” Jakarta: Firdaus Pressindo.

———. 2013. “Scientific Forestry.” In Kembali Ke Jalan Lurus Kritik Penggunaan Ilmu Dan Praktek Kehutanan Indonesia. Yogyakarta: Tanah Air Beta.

Suryawan, I Nengah. 2015. “Identitas Yang Terpecah Dan Peluang Transformasi Sosial Budaya Di Tanah Papua.” Journal of Local Culture 2 (1): 16–41.

Warner, L A, A J Lamm, and C Silvert. 2019. “Diffusion of Water-Saving Irrigation Innovations in Florida’s Urban Residential Landscapes.” Urban Forestry & Urban Greening 40 (126540): 1–30.

 

[1] Fenomena kutukan sumber daya menggambarkan kondisi dimana suatu komunitas yang memiliki kelimpahan sumber daya namun tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan cenderung membuat masyarakatnya tidak mementingkan pendidikan (Soedomo 2012).

 

Mutiono