Rahasia Kampung Saporkren Papua Barat Raup 300 Juta Setahun

Sorong, 3 Mei 2018. Saporkren adalah salah satu kampung di barat Pulau Waigeo, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Kampung ini sukses beradaptasi seiring laju wisata alam di Raja Ampat.

Menurut Kepala Balai Besar KSDA Papua Barat, R Basar Manullang, sepanjang 2017, kampung ini memiliki pendapatan kurang lebih Rp 300 juta setahun, seiring dengan jumlah kunjungan yang mencapai 1.000 orang dalam setahun.

Capaian ini meningkat lebih dari delapan kali lipat dibandingkan tahun 2014. Kampung Saporkren ini juga termasuk kampung binaan kedua terbaik versi Dirjen KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2017.

Kampung Saporkren bersinggungan dengan kawasan konservasi Cagar Alam Waigeo Barat. Dulunya kampung yang berpenduduk 398 jiwa itu sebagian warganya pembalak kayu. Usaha tersebut menjadi andalan penghasilan selain sebagai nelayan.

Kondisi itu menarik perhatian Balai Besar KSDA Papua Barat, Raja Ampat dan Fauna & Flora International-Indonesia Program (FFI-IP) dan menjadikannya target kampung binaan.

Konsep yang ditawarkan adalah ekowisata pengamatan burung cenderawasih yang dikombinasikan dengan wisata laut yang lebih dulu tenar. Usaha ini mengalami banyak tantangan. Penolakan didapat dari oknum pemerintah kampung maupun adat yang mendapatkan hasil dari usaha pengolahan kayu.

Seiring dengan jumlah kayu olahan yang berkurang dan patroli rutin yang gencar dijalankan serta rutinnya sosialisasi, beberapa warga kampung mulai sadar dan mau menerima konsep yang ditawarkan. Tahun 2014 dibentuklah Kelompok Tani Hutan Sapokren yang beranggotakan delapan orang, diketuai oleh Orgenes Dimara.

Berawal dari tiga homestay yang dibangun swadaya dan dibantu Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Raja Ampat, di tahun 2018 menjadi delapan homestay yang dibangun dengan pemandu wisata sebanyak 26 orang. Dampak wisata terus meningkat bagi kesejahteraan warga kampung tersebut.

Peningkatan kapasitas anggota kelompok rutin dilakukan. Mulai dari pengenalan jenis burung, tata cara guide yang baik, pelatihan administrasi, dan bantuan modal berupa peralatan pengamatan burung. Pada 2018, perwakilan kelompok melakukan studi banding ke tempat wisata di Yogyakarta.