TRANSFORMASI MASYARAKAT PAPUA
Tulisan ini merupakan hasil review dari jurnal berjudul “Identitas yang terpecah dan peluang transformasi sosial budaya di Tanah Papua” yang terbit dalam Jurnal Kawalu: Journal of Local Culture tahun 2015 karya I Ngurah Suryawan.
Topik yang diangkat dalam jurnal tersebut adalah transformasi sosial budaya akibat pembangunan. Penelitian yang dilakukan dilatar belakangi oleh adanya proses-proses pembangunan dalam berbagai bentuk yang umumnya berbasis modernitas dan kapitalisme sering melakukan simplifikasi terhadap budaya masyarakat setempat. Hal tersebut dianggap memecah identitas asli masyarakat Papua, keterlupaan sejarah dan menimbulkan ketidakpercayaan diri pada masyarakat asli. Setidaknya ada 5 teori penting yang mengontruksi jurnal tersebut, yaitu:
- Pemekaran Tanah Papua berawal dari terpecahnya Provinsi Irian Jaya menjadi Irian Jaya Barat. Berdirinya provinsi baru berawal dari dialog para tokoh masyarakat irian jaya barat dengan pemerintah indonesia pada 16 september 2002. Pada intinya adalah meminta provinsi irian jaya barat diaktifkan kembali yang sebelumnya telah ditetapkan pada 12 oktober 1999. Provinsi ini didirikan berdasarkan UU No.45 tahun 1999 dan dipercepat dengan Inspres No.1/2003. Peresmian kantor gubernur pertama oleh Pejabat Gubernur Abraham Oktavianus Ataruri pada 6 Februari 2003. Dari situ mulai bermunculan kabupaten-kabupaten baru di wilayah VOGELKOP (kepala burung).
- Budaya masyarakat Papua adalah oral tradition (tradisi lisan) yang tumbuh subur di wilayah perkampungan-perkampungan. Semua pengetahuan muncul dan dikemas dalam tradisi ini walupun alpa untuk dituliskan. Pengetahuan ini menyebar dan menjadi keyakinan bersama untuk menjalani kehidupan. Hal tersebut yang oleh pihak luar dianggap sebagai hal yang tidak ilmiah karena tidak tertulis “no document no history” sehingga sejarah dan pengetahuan masyarakat lokal banyak dilupakan dalam pertimbangan pembangunan.
- Orang Meemenyebut tanah (Maki) sebagai mama (Akukai) yang memberikan kehidupan. Jika tanah tidak diperhatikan maka hubungan manusia, Tuhan dan alam tidak akan ada. Orang Mee menyebut para penjual tanah sebagai Dimi Beu (orang gila/ tidak mempunyai pikiran).
- Dalam bahasa Maybrat, tanah disebut Tabam. Filosofi orang Maybrat “Tabam Fo Msaka Ra Msikowah Fe, Anu Ra Oh Bsikowah Bo To” (Dunia/Alam semesta itu tidak merusak manusia tetapi manusialah yang merusak).
- Penyederhanaan negara dalam melakukan proses pembangunan terhadap budaya masyarakat setempat disebut sebagai simplifikasi negara “state simplification.
Adapun temuan penting dari hasil penelitian yang diungkap dalam jurnal tersebut setidaknya dapat ditarik menjadi 7 temuan utama yaitu:
- Pemekaran wilayah di Papua lebih mengarah pada kepentingan ekonomi politik yang menguatkan sisi primodialisme, menciptakan raja-raja kecil melalui pertempuran elit lokal untuk merebut kekuasaan baru yang justru menirkan tujuan menyejahterakan masyarakat. Disamping proses itu, geliat pembangunan melalui berbagai investasi dan kapital besar terus mulai berdatangan.
- Pemekaran dan pembangunan lebih mengarah pada metode modern sehingga terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Proses pembangunan yang berlangsung juga telah menimbulkan konfik, bukan hanya pada masyarakat dengan perusahaan melainkan antar masyarakat karena datangnya pembangunan membuat tanah menjadi bernilai kapital, hal tersebut telah memecah pemahaman kebudayaan masyarakat setempat mengenai tanah.
- Masyarakat lokal seakan-akan dipaksa untuk beradaptasi dengan dunia dan kenyataan baru. Mimpi modernitas yang ditawarkan harus dibayar dengan hilangnya kehidupan asli mereka. Masyarakat terpapar oleh introduksi berbagai program dan nilai-nilai baru sehingga dituntut untuk merespon perubahan dengan cara-cara mereka sendiri yang menyangkut nasib mereka, identitas dan kebudayaan. Mimpi kesuksesan pembangunan hanya muncul dari gambaran kesuksesan di daerah lain, bukan pada daerahnya sendiri.
- Puncak perubahan di Papua ketika pemerintah menerapkan konsep pembangunan sebagai perubahan yang dikehendaki dan dibutuhkan sehingga yang dianggap kuno dan tidak mengalami perubahan adalah keterbelakangan sehingga menjadi suatu penghalang untuk ditiadakan. Keberhasilan pembangunan bukan berasal dari sintesa historis budaya tempatan melainkan dari pikat citra suksesnya negara maju. Pembangunan yang demikian lambat laun telah menciptakan budaya konsumerisme dan bermuara pada krisis identitas dan disintegritas budaya masyarakat lokal.
- Masyarakat di Distrik Arguni Bawah Kabupaten Kaimana menganggap bahwa “Orang Papua belum mampu kelola hidup. Hutan itu yang hidupi orang Papua. Orang Papua tidak bisa kelola tanah yang tandus”. Mereka belajar dari saudara mereka di Aroba, Tofoi, Furwata dan Tanah Merah Teluk Bintuni yang hutannya sudah habis ditebang oleh perusahaan kayu dan sawit.
- Pembangunan memang membutuhkan tanah untuk pembangunan infrastruktur namun melupakan budaya masyarakat setempat dalam memaknai tanah sebagai wujud keterbelakangan adalah suatu yang tidak tepat.
- Program-program pembangunan yang masuk dengan menawarkan dana-dana yang tidak sedikit membuat masyarakat berpikir bagaimana memanfaatkan dana tersebut menjadi pekerjaan untuk dibagi-bagi kepada anggota masyarakat.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari jurnal tersebut cukup menarik karena disampaikan dalam sebuah pertanyaan yang dapat memancing penelitian-penelitian lanjutan yaitu apakah model alternatif dengan menempatkan perantara sebagai jembatan pembangunan dapat efektif mengingat munculnya biaya yang harus ditanggung beserta kemungkinan perantara yang lebih condong pada penguasa (kapital)? (MT)