LUBANG RESAPAN BIOPORI (LRB) SEBERAPA EFEKTIFKAH…??

Permasalahan

Hujan turun banjir pun datang, begitulah fenomena yang kini terjadi di beberapa daerah di negeri kita ini.  Setiap musim hujan tiba, banyak orang selalu khawatir akan datangnya banjir.  Banjir di musim hujan dan kekeringan air di musim kemarau menjadi masalah yang serius dari tahun ke tahun.

Banjir menjadi agenda tahunan bagi warga yang tinggal di daerah pinggiran sungai.  Namun jangan heran, dataran yang jauh dari sungaipun kini sudah tidak luput dari banjir.  Akhir-akhir ini, banjir tidak lagi terjadi di daerah pinggiran sungai saja, namun banjir terjadi juga di daerah dataran tinggi.  Hal ini terjadi karena tanah sudah kehilangan fungsinya dalam menyerap air, akibat dari maraknya penebangan hutan dan pembangunan gedung dan perumahan yang tidak ramah lingkungan. Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan agar dapat mengurangi banjir tahunan, yaitu dengan menanam banyak pepohonan agar air hujan tidak langsung mengalir ke sungai, tetapi tertahan pada akar pepohonan. Kandungan air pada akar pepohonan akan berfungsi sebagai reservoir di musim kemarau.

Mengolah sampah dengan benar.  Tidak membuang sampah ke sungai atau ke jalanan, juga dapat mengurangi bahaya banjir.  Jika sampah dibuang sembarangan, sampah dapat menyumbat saluran air yang ada dan mengakibatkan banjir saat hujan datang.

Pengelolaan sampah sebenarnya telah diatur pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 mengenai pengelolaan sampah. Undang-undang tersebut mengatur bahwa pengelolaan sampah tidak hanya menjadi kewajiban pemerintah saja. Masyarakat dan perilaku usaha sebagai penghasil sampah juga bertanggung jawab menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat. Pemerintah melalui UU tersebut memberi ruang yang cukup banyak bagi pemerintah daerah untuk merencanakan dan mengolah sampah di kawasannya. (UU RI, 2008 dalam Puspita, Dewi, dkk., 2018).

Menurut (Halauddin, dkk., 2016) sampah berfungsi menghidupkan mikroorganisme tanah, seperti cacing tanah. Cacing ini nantinya bertugas membentuk pori-pori atau terowongan dalam tanah (biopori).

Mencegah banjir dengan membuat sumur resapan adalah cara yang terbaik untuk daerah perkotaan. Kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam menanggulangi banjir sangat memegang peranan penting.  Kurangnya kepedulian warga dan lemahnya peran pemerintahan menjalankan peraturan yang ada, memicu masalah banjir semakin buruk dari tahun ke tahun.

Kepedulian warga tetap memegang peranan penting dalam mencegah banjir. Tanpa ada partisipasi masyarakat secara luas, banjir sudah dipastikan akan datang kembali.

Salah satu cara terbaru, dengan biaya cukup murah, untuk mengatasi banjir ini adalah dengan membuat Lubang Resapan Biopori (LRB) di dalam tanah. Biopori sendiri merupakan pori-pori berbentuk lubang (terowongan) yang terbentuk oleh aktivitas organisme tanah dan pengakaran tanaman. Aktivitas merekalah yang akan menciptakan rongga atau liang di dalam tanah, dimana rongga tersebut akan terisi udara yang menjadi saluran air untuk meresap ke dalam tanah.

Bila lubang seperti ini dibuat dalam jumlah yang banyak, maka kemampuan dari sebidang tanah untuk meresapkan air akan meningkat. Meningkatnya kemampuan tanah dalam meresapkan air akan memperkecil peluang terjadinya aliran air di permukaan tanah.  Dengan kata lain akan mengurangi banjir yang mungkin akan terjadi.  Karena air dapat diserap langsung ke dalam tanah.

Terjadinya perubahan iklim di bumi, membuat siklus cuaca menjadi tidak menentu. Indonesia sebagai salah satu negara yang sering mengalami banjir akibat musim penghujan. Selain membuang sampah pada tempatnya, ada cara lain untuk mencegah banjir yaitu dengan membuat LRB.

Menciutnya kawasan hutan dan ruang terbuka hijau di kota besar oleh perluasan lahan pertanian, permukiman, bisnis, industri dan jalan telah membuat resapan air menyusut, sehingga saat hujan lebat, air mengalir deras di permukaan dan meluap untuk kemudian mengakibatkan banjir. Semakin banyak air terbuang, maka semakin sedikit air tersimpan dalam tanah. Inilah penyebab kekeringan atau kesulitan air di musim kemarau. Kerusakan lingkungan itu diperparah oleh meningkatnya produksi sampah yang tak mampu dikelola dengan baik. Buangan sampah terhanyut, menyumbat saluran drainase, kemudian mendangkalkan sungai dan waduk. Sementara tumpukan sampah organik di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) menjadi sarang berkembangnya bibit penyakit, mencemari udara berupa bau busuk dan gas rumah kaca, sekaligus air bawah tanah. Inilah yang membuat bagian terbesar masyarakat menolak TPA. Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, kekeringan dan pencemaran akibat pembuangan sampah, menuntut kita sebagai pengguna lahan dan air, sekaligus penghasil sampah, untuk mengatasinya dengan memperbaiki fungsi hidrologis resapan air di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS). Salah satunya adalah dengan membuat LRB.

Saat musim hujan tiba, seringkali genangan air terlihat dimana-mana karena aliran air tersumbat. Mengatasi kondisi itu, ada baiknya diterapkan metode LRB. Lubang ini bermanfaat bagi kelangsungan sumber air dan kesuburan tanah. Metode LRB pertama kali ditemukan oleh Kamir R. Brata, Dosen Ilmu Tanah, Air, dan Konservasi Lahan di Institut Pertanian Bogor sekitar awal 2007 silam. Ia mengenalkan metode itu dengan alat bor biopori. Alat yang memiliki lingkar besi meruncing ini bisa mengebor tanah hingga kedalaman mencapai 1 meter dan berdiameter 10 cm. Lubang yang digali selanjutnya diberikan sampah organik, seperti dedaunan dan sisa makanan. Dimasukkan ke dalam sebagai bagian dari menutupi lubang agar memiliki pori-pori dan bisa dimakan hewan serta bakteri hingga terurai menjadi kompos. Di lubang itu juga air hujan maupun air sungai meresap ke tanah sehingga tak menggenang menjadi banjir.

Kondisi kota besar yang memiliki lahan resapan air yang sangat sedikit sekali disertai dengan penggunaan air tanah yang sangat berlebihan menyebabkan penurunan permukaan tanah serta mengakibatkan sulitnya untuk mendapatkan air berkualitas baik dan cukup di kawasan tersebut. Dengan demikian keseimbangan lingkungan yang harus terus menerus dilestarikan dan dijaga pun semakin rusak dan tidak terkendali. Untuk itulah diperlukan adanya gerakan pelestarian alam sekitar yang dilakukan secara bersama-sama oleh semua pihak secara berkesinambungan. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mencegah mengalirnya air hujan ke selokan yang kemudian terbuang percuma ke laut lepas adalah dengan pembuatan LRB.

LRB merupakan teknologi tepat guna untuk mengatasi permasalahan makin sempitnya permukaan horizontal dengan menciptakan perluasan permukaan vertikal yang dapat meningkatkan laju peresapan air ke segala arah di dalam tanah.

Sampah organik yang dimasukkan ke dalam LRB terus dimanfaatkan oleh biodiversitas tanah sebagai makanan dalam jaringan makanan. Pemanfaatan sampah organik oleh setiap rumah tangga ke dalam LRB dapat mengurangi emisi gas rumah kaca, menyisakan sampah non-organik yang dapat disumbangkan kepada pemulung, berarti dapat mengurangi timbunan sampah yang mengotori lingkungan, dengan melibatkan seluruh anggota masyarakat penggguna lahan.

Sedangkan, untuk kawasan perkotaan, ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai daerah resapan sudah berkurang. Makin sempitnya permukaan resapan di wilayah perkotaan perlu ditanggulangi dengan memperluas permukaan peresapan vertikal ke dalam tanah.

Pembuatan LRB ke dalam tanah secara langsung akan memperluas bidang permukaan peresapan air, seluas permukaan dinding lubang. Dengan diameter lubang cukup kecil, LRB dapat dibuat menyebar pada tempat-tempat dimana air hujan akan berkumpul dengan membuat alur atau cekungan disesuaikan dengan desain taman yang sudah ada.

Pemanasan global (Global warming) yang sekarang sudah melanda dunia bahkan Indonesia, merupakan salah satu efek dari terjadinya konversi hutan secara terus-menerus dan tanpa ada upaya regenerasi hutan yang terencana dan lestari. Dengan sendirinya luasan hutan terkonversi sedikit demi sedikit berkurang.

Areal hutan yang terkonversi ini digunakan untuk berbagai kepentingan diantaranya pembukaan lahan untuk perladangan dengan cara membakar hutan, pengambilan kayu bakar secara terus-menerus, pembukaan lahan untuk areal permukiman khususnya untuk daerah pengembangan. Hal ini biasa terjadi di hutan alam (primer dan sekunder) maupun sampai pada hutan mangrove yang juga dikonversi secara besar-besaran baik oleh masyarakat, swasta maupun pemerintah untuk suatu tujuan tertentu. Dalam kenyataannya berkurangnya luasan hutan itu sendiri berarti hilangnya vegetasi penutup lantai hutan tersebut. Baik itu dari tingkatan vegetasi semai, pancang, tiang maupun pohon. Dengan hilangnya vegetasi akan berimbas bagi lantai hutan dimana ketika terjadi hujan dengan curah hujan yang tinggi maka akan meningkatkan laju limpasan/aliran permukaan, menurunkan laju infiltrasi karena sudah tidak ada lagi akar pohon yang dapat mengikat tanah dan menahan air yang artinya berefek menimbulkan erosi dan banjir.

Hal ini juga terjadi di Kota Sorong, dimana saat ini hampir semua daerah merupakan daerah pengembangan, dengan sendirinya akan banyak areal hutan yang terkonversi baik itu untuk permukiman, sarana prasarana umum maupun konversi oleh masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat Papua sendiri dikenal sebagai masyarakat yang banyak menggantungkan hidupnya dari hutan.

Dengan demikian apa yang terlihat sekarang ini adalah begitu banyak areal hutan yang sudah menjadi kawasan permukiman maupun kawasan usaha secara legal untuk pengambilan tanah timbunan. Dan pemandangan yang sudah lazim terlihat sebagai efek dari hal tersebut adalah ketika datang hujan banyak kawasan permukiman di Kota Sorong yang terendam banjir. Hal ini diperkirakan karena kemampuan tanah untuk menahan air maupun meresapkan sudah sangat menurun sehingga lebih banyak terjadi limpasan permukaan.

Dengan perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini telah dikembangkan berbagai metode untuk dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam meresapkan air diantaranya yaitu pembuatan sumur resapan maupun teknologi terbaru yang dikembangkan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) yaitu pembuatan LRB. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa tingginya resapan daya resap tanah disebabkan karena adanya lubang-lubang (pori) yang dibentuk oleh akar dan biota tanah. Biota tanah ini hidup subur karena di lantai hutan terdapat banyak makanan yang mereka sukai, yakni bahan organik yang berasal dari daun yang berguguran dan sisa tanaman lain.

Kiranya pengembangan ilmu dan teknologi ini dapat direspon oleh masyarakat yang ada di Kota Sorong. Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat diasumsikan bahwa perlu dilakukan suatu upaya dalam meningkatkan daya resap tanah dengan aplikasi teknologi LRB khususnya pada areal yang telah terkonversi tanpa vegetasi seperti kawasan permukiman dan tempat terbuka.

Definisi Lubang Resapan Biopori (LRB)

Arti definisi dan pengertian LRB adalah lubang dengan diameter 10-30 cm dengan panjang 30-100 cm yang dibuat sebagai salah satu alternatif teknologi dalam rangka peningkatan daya resap tanah, yang ditutupi sampah organik yang berfungsi untuk menjebak air yang mengalir di sekitarnya sehingga dapat menjadi sumber cadangan air bagi air bawah tanah, tumbuhan di sekitarnya serta dapat juga membantu pelapukan sampah organik menjadi kompos yang bisa dipakai untuk pupuk tumbuhan.

Tujuan/Fungsi/Manfaat/Peranan LRB:

  1. Memaksimalkan air yang meresap ke dalam tanah sehingga menambah air tanah.
  2. Membuat kompos alami dari sampah organik daripada dibakar.
  3. Mengurangi genangan air yang menimbulkan penyakit.
  4. Mengurangi air hujan yang dibuang percuma ke laut.
  5. Mengurangi resiko banjir di musim hujan.
  6. Maksimalisasi peran dan aktivitas flora dan fauna tanah.
  7. Mencegah terjadinya erosi tanah dan bencana tanah longsor.

Tempat yang dapat dibuat/dipasang LRB air:

  1. Pada alas saluran air hujan di sekitar rumah, kantor, sekolah, lapangan parkir, dsb.
  2. Di sekeliling pohon.
  3. Pada tanah kosong antar tanaman/batas tanaman.
  4. Di parit/selokan yang berfungsi hanya untuk aliran pembuangan air hujan saja.
  5. Dilahan kebun dan areal terbuka lainnya.

         Teknik peresapan ini diperoleh dengan cara mengadopsi dari teknik daya resap tanah secara alami. Dimana tanah yang tadinya tidak bisa meresapkan air (karena tertutup selimut beton misalnya) diberi lubang dan diisi dengan bahan organik. Bahan organik tersebut akan terkena air sehingga menjadi lembab dan akhirnya akan mengandung biota tanah untuk hidup disana. Biota tanah itu nantinya akan berjalan kesana kemari mencari celah di dalam tanah dan membentuk lubang (pori). Lubang inilah yang meresapkan air ke dalam tanah, sekaligus memperbaiki strukturnya (Anonim, 2008).

            Berikut langkah-langkah pembuatan LRB sebagai salah satu alternatif meningkatkan daya resap tanah:

  1. Pembuatan lubang dengan diameter 10-20 meter dengan kedalaman 50-100 cm. Pembuatan lubang dapat dilakukan dengan menggunakan linggis.
  2. Lubang tersebut selanjutnya diisi dengan sampah organik atau rerumputan. Idealnya lubang diisi sampai penuh.
  3. Sekitar 30-40 hari sampah akan menyusut dan berubah menjadi kompos. Jika sampah menyusut, maka harus dilakukan kembali pengisian sampah sampai penuh.

LRB lebih mudah dibuat karena diameternya jauh lebih kecil ketimbang membangun Sumur Resapan (SR). Diameternya hanya 10 cm sedangkan kedalamannya mencapai 100 cm. Hanya perlu menyediakan bambu, pipa besi, dan bor khusus untuk menggali lubang. Sementara diameter SR jauh lebih besar, sekitar 100 cm. Dan ini membuat biaya yang dikeluarkan menjadi terlampau besar, karena harus menggali dan membuang tanah lebih banyak, selain mesti membeli bahan-bahan lain seperti kerikil, ijuk, batu bata, pasir dan semen untuk menguatkan dinding lubang. Perbedaan penting lainnya adalah LRB diisi sampah organik, sedangkan SR diisi kerikil dan ijuk.

Habitat sekitar lingkungan memadai

Dengan diameter kecil dan diisi sampah organik, dinding LRB tidak perlu diperkuat semen, melainkan dibiarkan tetap terbuka sehingga dengan mudah air meresap melalui dinding lubang. LRB berisi sampah organik adalah habitat bagus bagi fauna tanah (seperti cacing) yang masuk sendiri ke lubang membantu menciptakan liang biopori, sementara sampah organik yang dimakannya menjadi kompos. Jadi, LRB bisa mempercepat resapan air di tanah dan memudahkan pemanfaatan sampah organik. Kapasitas beban resapan LRB sendiri (volume air yang masuk dibagi luas permukaan dinding) sekitar 25 liter/m2, jauh lebih kecil dibandingkan SR yang kapasitas bebannya 250 liter/m2. Lain dari itu, kerikil dan ijuk tidak cocok sebagai habitat fauna tanah, yang akibatnya membentuk biopori tidak mungkin dilakukan, dan jika tersumbat maka pori pun sulit diperbaiki. Namun, karena dimensinya kecil, LRB perlu diperbanyak dengan menyebarnya pada jarak tertentu sekitar tanaman atau dasar saluran yang semula difungsikan untuk membuang air, tapi tak perlu ruang khusus. Kelebihan itu membuat LRB lebih mungkin dibuat oleh pengguna lahan yang hirau mempertahankan resapan air dan terbiasa memanfaatkan sampah organik. Biota tanah sendiri memerlukan bahan organik sebagai makanan dan sumber energi agar ekosistem tanah yang sehat di seluruh kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) terpelihara. Prosesnya begini, fauna tanah menggali liang biopori, memakan, lalu menghaluskan ukuran sampah, kemudian mencampurkannya dengan mikroba penghancur sampah menjadi humus. Namun itu semua perlu memperhatikan struktur tanah yang baik sehingga fungsi hidrologis yang menjamin ketersediaan air di seluruh kawasan DAS dapat dipertahankan. Pendekatan perbaikan ekosistem tanah kawasan DAS inilah yang mendorong Bagian Konservasi Tanah dan Air, Departemen Ilmu Tanah dan Sumbedaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB, mengembangkan teknologi LRB sebagai metode peresapan air sederhana dengan memanfaatkan sampah organik untuk perbaikan porositas tanah oleh fauna tanah (biopori).

Penggunaan lebih mudah

Keunggulan teknologi LRB adalah lebih mudah diterapkan dan lebih efektif meresapkan air hujan dan eksploitasi sampah organik untuk berbagai tipe penggunaan lahan, dibandingkan teknologi SR yang sudah dikenal lebih dulu. Teknologi LRB bisa meluruskan persepsi keliru bahwa sampah harus dibuang dan kelebihan air hujan harus segera dibuang ke laut.
Mengapa persepsi itu dianggap keliru? Karena air dan sampah adalah sumberdaya yang harus dimanfaatkan untuk menjaga ekosistem tanah dan lingkungan hidup. Air itu vital bagi kehidupan, sementara sumber utama air bersih adalah air hujan. Pada lingkungan sehat yang fungsi hidrologisnya baik, air hujan akan meresap ke tanah mengantikan air yang hilang oleh penguapan, lalu diserap tanaman untuk digunakan manusia dan kehidupan lain, kemudian menjadi sumber air di musim kemarau. Upaya meresapkan air hujan mesti dilakukan para pengguna lahan sekitar DAS. Dan karena air hujan jatuh di seluruh kawasan DAS, maka peresapan air harus diupayakan di seluruh kawasan DAS, bukan hanya dibebankan ke kawasan lindung dan penyangga seperti hutan atau sempadan sungai. Persepsi keliru yang membebankan semuanya ke kawasan lindung itu dapat diluruskan dengan menganjurkan pembuatan saluran pembuangan air (drainase) di lahan perkebunan, pertanian, dan kawasan permukiman. Anggapan sampah perlu dibuang juga mesti diluruskan, sebaliknya masyarakat perlu dibuat peduli pada pemisahan sampah organik untuk perbaikan peresapan air di lahannya. Lain dari itu, sampah nonorganik bisa disumbangkan kepada pemulung untuk didaur ulang menjadi bahan baku industri.  Lebih jauh, teknologi LRB mendorong masyarakat menjadi pengguna lahan yang bertanggungjawab, karena LRB membuat masyarakat tahu pasti bagaimana memanfaatkan air hujan dan meresapkannya di lahannya. LRB juga membuat sampah organik bisa menghidupkan dan mengaktifkan fauna tanah pencipta biopori. Kewajiban membangun waduk atau kolam pemancingan di kawasan pemukiman akan sangat tergantung pada sumber air hujan. Di musim hujan, semua media itu tak bisa menampung limpahan banjir, sebaliknya di musim kemarau semua media itu surut karena cadangan air berkurang. Untuk itu, perlu upaya peresapan air di sekitarnya sebelum saluran drainase di permukiman terlanjur dikedapkan beton. Dan LRB adalah cara terefektif untuk mengatasi itu semua.

 

Analisis Masalah

           LRB merupakan salah satu teknologi yang diciptakan oleh anak bangsa pada tahun 2004 silam. Sang penemu yang bernama lengkap Ir. Kamir R. Brata M.Sc. merupakan salah seorang staf pengajar di salah satu perguruan tinggi negeri di Pulau Jawa, yaitu Institut Pertanian Bogor. Teknologi ini sendiri mempunyai peranan sebagai pengganti areal resapan air yang telah dibangun ataupun dilapisi aspal atau semen. Dalam fungsinya, LRB berperan sebagai pintu masuk air hujan yang jatuh ke permukaan bumi. Pengumpulan data primer dan data sekunder, merupakan langkah awal dalam penelitiannya. Data primer didapatkan dari pengamatan langsung di lapangan, sedangkan data sekunder didapatkan dari arsip data yang telah ada pada penelitian personal atau pun dari arsip data suatu instansi, yang terkait dalam penelitian LRB ini. Dalam penelitiannya, data-data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis kembali. Data primer yang didapat berupa data laju infiltrasi air ke dalam tanah. Metode analisis yang dipakai untuk mendapatkan data tersebut adalah metode HORTON. Selain itu data intensitas hujan harian maksimum juga akan dicari, dengan menggunakan metode analisis Log Pearson, yang akan diparalelkan dengan Metode Ishiguro, Van Breen, Sherman, dan Tallbot. Hasil akhir yang dihasilkan dari penelitian ini berupa analisis efisiensi LRB dalam meresap air hujan, kedalam tanah. Pada bagian penguraian sampah organik, data yang didapat merupakan data pengamatan langsung dari lapangan, yang merupakan data-data indikator kematangan kompos, yaitu: PH (tingkat keasaman), warna, bau, dan kondisi kompos. Kecepatan infiltrasi air hujan sebelum adanya LRB pada wilayah penelitiannya lebih kecil dibandingkan setelah adanya LRB, karena air hujan yang jatuh ke tanah, akan sebagian masuk kedalam LRB, dan sebagian lagi akan meresap melalui permukaan tanah. Sedangkan untuk penguraian zat organik, masa transisi antara sampah muda ke sampah mulai matang terjadi pada rentan waktu minggu ke-3 sampai minggu ke-4, dimana nilai PH-nya meningkat menuju angka 8, dimana pada proses ini bakteri pengurai lebih aktif dalam bekerja menguraikan sampah, sedangkan untuk masa pematangan, terjadi setelah minggu ke-4 sampai seterusnya, dimana nilai PH menuju kepada nilai stabil, antara 7-7,5.

           LRB berpengaruh terhadap peningkatan berat tanah pada kawasan permukiman dan areal terbuka, dimana indikasi adanya penambahan berat tanah berarti terjadi peningkatan laju infiltrasi tanah pada daerah tersebut. Selain itu, jenis tanah di daerah permukiman adalah lempung berpasir, dan juga karena terdapat bangunan rumah yang didominasi oleh tanaman bunga serta tanaman umur pendek lainnya (pepaya dan pisang), sedangkan pada areal terbuka cenderung memiliki jenis tanah liat dan sedikit jenuh air sehingga penambahan berat tanah tidak terlalu banyak.

           Dengan adanya LRB untuk kawasan permukiman terjadi penambahan berat tanah lebih besar dibanding pada areal terbuka, perbedaan ini terjadi karena jenis tanah yang berbeda dan faktor pengelolaannya.

           LRB yang telah terisi sampah organik yang telah terurai menjadi kompos maka tanah di sekitar akan mempunyai daya serap air yang lebih tinggi dengan indikasi adanya pertambahan berat tanah. Hal ini tentu cukup menggembirakan mengingat dengan makin banyaknya air yang terserap ke dalam tanah berarti menyebabkan menurunnya limpasan permukaan dan naiknya laju infiltrasi, dengan demikian dapat meminimalkan terjadinya banjir. Kapasitas infiltrasi yang rendah meningkatkan aliran permukaan yang akhirnya mengakibatkan banjir.

           Vegetasi maupun jenis tanah dan pengelolaan tanah sangat berpengaruh terhadap laju infiltrasi, limpasan permukaan maupun erosi. Hal ini sejalan dengan Asdak (2004), yang menyatakan bahwa secara umum terjadinya erosi ditentukan oleh faktor-faktor iklim terutama intensitas hujan, topografi, karakteristik tanah, vegetasi penutup tanah dan tata guna lahan (Asdak, 2004). Dan menurut Rahim (2006), pada dasarnya erosi dipengaruhi oleh 3 faktor utama meliputi energi yaitu hujan, air limpasan, angin, kemiringan dan panjang lereng, ketahanan yaitu erodibilitas tanah (ditentukan sifat fisik dan kimia tanah) dan proteksi yaitu penutupan tanah baik oleh vegetasi atau lainnya serta ada atau tidaknya konservasi.

           LRB atau biasa disebut “lubang biopori” merupakan metode alternatif untuk meningkatkan daya resap air hujan ke dalam tanah. Metode ini pertama kali dicetuskan oleh Dr. Kamir R. Brata, seorang peneliti dan dosen pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Institut Pertanian Bogor (IPB). LRB berupa sebuah lubang silindris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah. Lubang ini akan memicu munculnya biopori secara alami di dalam tanah.

           LRB dikembangkan untuk memperbaiki kondisi ekosistem tanah yang dapat menghidupi keanekaragaman hayati di dalam tanah (biodiversitas tanah). Biodiversitas tanah dapat hidup dan berkembang biak di dalam tanah bila terdapat cukup air, oksigen, dan makanan sebagai sumber energi dan nutrisi untuk hidup dan pertumbuhannya. Karena mereka umumnya heterotroph maka makanannya adalah bahan organik yang dihasilkan oleh autotroph dan organisme tanah yang telah mati. Sampah organik merupakan sumber bahan organik untuk makanan biodiversitas tanah. Pembuatan lubang yang relatif kecil ke dalam tanah dapat memperluas permukaan vertikal yang dapat menampung sampah organik dan meresapkan air dalam lubang dengan lancar ke segala arah. Dimensi lubang yang kecil dapat memudahkan proses pembuatannya. Aktivitas biodiversitas tanah dapat mempercepat pelapukan sampah organik serta meningkatkan pembentukan biopori yang dapat memperlancar peresapan air dan pertukaran 02 dan CO2 di dalam tanah (aerasi).

            Biopori sendiri adalah istilah untuk lubang di dalam tanah yang terbentuk akibat berbagai aktivitas organisme yang terjadi di dalam tanah seperti oleh cacing, rayap, semut, dan perakaran tanaman. Biopori yang terbentuk akan terisi udara dan menjadi tempat berlalunya air di dalam tanah.

           Prinsip kerja lubang peresapan biopori sangat sederhana. Lubang yang kita buat, kemudian diberi sampah organik yang akan memicu biota tanah seperti cacing dan semut dan akar tanaman untuk membuat rongga (lubang) di dalam tanah yang disebut biopori. Rongga (biopori) ini menjadi saluran bagi air untuk meresap ke dalam tanah.

 

Manfaat Lubang Biopori

LRB adalah teknologi sederhana yang tepat guna dan ramah lingkungan. Lubang biopori ini mampu meningkatkan daya resap air hujan ke dalam tanah sehingga mampu mengurangi resiko banjir akibat meluapnya air hujan. Selain itu, teknologi ini juga mampu meningkatkan jumlah cadangan air bersih di dalam tanah. Biopori adalah lubang resapan yang dibuat di tanah memakai bor sedalam 1 meter, lubang sedalam ini akan diisi dengan sampah organik seperti daun, sisa makanan, dll.

Kemudian dari aspek sanitasi, untuk menjaga kebersihan akibat daun yang dipangkas atau berguguran, mencegah polusi udara, berfungsi meresapkan air lebih optimal. Jika biopori tersebut dilakukan secara masif oleh masyarakat, LRB juga akan mampu mencegah banjir dan genangan. Manfaat lain biopori adalah meningkatkan cadangan air dalam tanah, mencegah keamblasan tanah, menghambat intrusi air laut, dan mengurangi pencemaran air.

Selain itu manfaat LRB:

  1. meresapkan air hujan ke dalam tanah
  2. menjaga ketersediaan air tanah
  3. kompos (untuk memanen kompos dari LRB yang wajib dilakukan adalah memberikan pakan bagi fauna tanah, usahakan untuk mengisi lubang dengan sampah organik setiap 5 hari sekali). Dalam 3 bulan kompos umumnya sudah terbentuk dan siap untuk diangkat (dipanen). Untuk mengambil kompos dari dalam LRB, dilakukan seperti saat melakukan pengeboran, tapi yang kita ambil komposnya. Selesai panen, isi kembali lubang dengan sampah organik.

LRB merupakan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan untuk mengatasi banjir dengan cara:

  • Meningkatkan daya resapan air

LRB mampu meningkatkan daya resap air hujan ke dalam tanah. Hal ini akan bermanfaat untuk mencegah genangan air yang mengakibatkan banjir, peningkatan cadangan air bersih di dalam tanah, dan mencegah erosi dan longsor. Dengan adanya LRB akan mencegah terjadinya  genangan air yang secara tidak langsung dapat meminimalisir berbagai masalah yang diakibatkannya seperti mewabahnya penyakit malaria, demam berdarah dan kaki gajah.

  • Mengubah sampah organik menjadi kompos dan mengurangi emisi gas rumah kaca (CO2 dan metan)

Sampah organik yang dimasukkan ke dalam lubang biopori akan dirubah menjadi kompos oleh satwa tanah seperti cacing dan rayap. Kompos atau humus ini sangat bermanfaat bagi kesuburan tanah. Selain itu sampah organik yang diserap oleh biota tanah tidak cepat diemisikan ke atmosfir sehingga mengurangi emisi gas rumah kaca (CO2 dan metan) yang mengakibatkan pemanasan global dan menjaga biodiversitas dalam tanah. Mengapa diberi sampah organik? Karena sampah organik merupakan sumber makanan dan energi dari mikroorganisme dan fauna tanah. Jadi mereka semua akan bergerak menuju sumber makanan dan membuat pori-pori di sekitar lubang. Sampah organik yang dimasukkan ke dalam lubang akan menjadi humus dan tubuh biota dalam tanah, tidak cepat diemisikan ke atmosfer sebagai gas rumah kaca. Berarti mengurangi pemanasan global dan memelihara biodiversitas dalam tanah.

  • Memanfaatkan fauna tanah dan akar tanaman

Lubang biopori memicu biota tanah dan akan tanaman untuk membuat rongga di dalam tanah yang menjadi saluran air untuk meresap ke dalam tanah. Dengan adanya aktivitas ini menjadikan kemampuan lubang resapan biopori senantiasa terjaga dan terpelihara. Dengan memanfaatkan aktivitas fauna tanah, rongga tersebut akan senantiasa terpelihara dan terjaga keberadaannya sehingga kemampuan peresapannya akan tetap terjaga tanpa campur tangan manusia. Hal ini tentunya akan sangat menghemat biaya.

  • Mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh genangan air seperti penyakit demam berdarah, kaki gajah, dan malaria

Menurut Dr. Kamir R Brata, salah satu peneliti dari Institut Pertanian Bogor, LRB adalah metode resapan air yang ditujukan untuk mengatasi banjir dengan cara meningkatkan daya resap air pada tanah.

Peningkatan daya resap air pada tanah dilakukan dengan membuat lubang pada tanah dan menimbunnya dengan sampah organik untuk menghasilkan kompos. Sampah organik yang ditimbunkan pada lubang ini kemudian dapat menghidupi fauna tanah, yang seterusnya mampu menciptakan pori-pori di dalam tanah. Teknologi sederhana ini kemudian disebut dengan nama biopori.

Langkah-langkah pembuatan LRB:

  1. Mencari lokasi yang tepat untuk membuat LRB, yaitu pada daerah air hujan yang mengalir seperti taman, halaman parkir, dan sebagainya.
  2. Tanah yang akan dilubangi disiram dengan air supaya mudah untuk dilubangi.
  3. Meletakkan mata bor tegak lurus dengan tanah untuk memulai pengeboran.
  4. Melubangi tanah dengan bor biopori, (bor biopori adalah bor untuk tanah mineral, (bor biopori adalah bor untuk tanah mineral), dengan menekan bor kekanan sambil diputar kekanan hingga bor masuk kedalam tanah.
  5. Dan untuk memudahkan dalam pengeboran, melakukan penyiraman dengan air selama pengeboran.
  6. Setiap kurang lebih 15 cm atau sedalam mata bor berhenti, tarik mata bor sambil tetap diputar kearah kanan, untuk membersihkan tanah yang berada didalam mata bor.
  7. Bersihkan tanah dari dalam mata bor dengan menggunakan pisau atau alat tusuk lainnya, dimulai dengan menekan tanah dari sisi dalam mata bor sehingga tanah mudah dilepaskan.
  8. Membuat lubang silindris di tanah dengan diameter 10-30 cm dengan kedalaman 30-100 cm, bor lubang searah jarum jam serta jarak antar lubang 50-100 cm.
  9. Mulut lubang dapat dikuatkan dengan semen setebal 2 cm dan lebar 2-3 cm serta diberikan pengaman agar tidak ada anak kecil atau orang yang terperosok.
  10. Beri air, tunggu hingga air meresap sehingga tanah lebih gembur dan mudah mengebor.
  11. Bor lagi sedalam mungkin, apabila susah masuk, cabut bor searah jarum jam dengan
  12. Apabila tanah berbatu atau kerikil, sehingga terhambatnya pengeboran, maka pengeboran dapat dihentikan hingga kedalaman yang bisa ditembus oleh mata bor saja, walaupun hanya mencapai kedalaman kurang lebih 50 cm.
  13. Bor hingga kedalaman 80-100 cm, bila ditengah jalan ada batu, pindah lokasi tempat.
  14. Lubang diisi dengan sampah organik sebanyak mungkin seperti daun, sampah dapur, ranting pohon, sampah makanan dapur non kimia, dan sebagainya. Jangan memasukkan sampah anorganik seperti plastik, kaleng, mika/fiber karena tidak dapat terurai. Sampah dalam lubang akan menyusut sehingga perlu diisi kembali dan di akhir musim kemarau dapat dikuras sebagai pupuk kompos alami.
  15. Jumlah lubang biopori yang ada sebaiknya dihitung berdasarkan besar kecil hujan, laju resapan air dan wilayah yang tidak meresap air dengan rumus = intensitas hujan (mm/jam) x luas bidang kedap air (meter persegi) / laju resapan air perlubang (liter/jam).

Alat yang digunakan untuk membuat LRB adalah bor tanah (bor biopori) atau alat lain yang dapat membuat lubang vertikal, seperti linggis dan alat untuk mengeluarkan tanah dari mata bor. Ukuran bor biopori: tinggi/panjang bor 120 cm, diameter bor 10 cm, lebar gagang pegangan kurang lebih 40 cm.

Untuk menghindari bahaya terperosok dan longsoran tanah pada LRB, bisa dilakukan dengan:

  1. memberi paralon (pipa pvc) seukuran lubang dengan panjang 10-15 cm.
  2. bila diperlukan, tambahkan penyemenan (campuran semen dan pasir) di sekeliling mulut lubang.
  3. bila daerah lubang sering dilalui orang, tutup lubang dengan kawat atau jaring.

Dalam pemanfaatan LRB, banyak manfaat yang diperoleh, antara lain tidak ada lagi genangan air sisa penyiraman tanaman, pembuangan sampah organik lebih tepat.

LRB bisa meningkatkan daya resap air bila fauna tanah telah membuat terowongan kecil dalam tanah maka luas bidang permukaannya akan bertambah. Sebagai contoh bila lubang bor berdiameter 10 cm maka luas bidang resapan menjadi 3.218 cm2 (setara dengan volume air 1 ember/321.800 cm3).

Gambar 1. Lubang Resapan Biopori

(Sumber: Tabloid Rumah No. 127-VI tanggal 8 Januari – 21 Januari 2008)

 

Penulis: Age Nursadatono (PEH Muda BBKSDA Papua Barat)

 

Daftar Pustaka

  1. Anonim, 2008. Mengatasi Banjir dengan Lubang Resapan Biopori. Tabloid Rumah No. 127-VI tanggal 8 Januari – 21 Januari 2008. Jakarta.
  2. Asdak, 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
  3. Halauddin, dkk., 2016. Pemanfaatan Lubang Resapan Biopori (LRB) dan Perhitungan Permeabilitas untuk Setiap Titik Lubang Resapan di Rawa Makmur Permai Bengkulu. Jurnal Ilmiah MIPA GRADIEN, ISSN 0216-2191, Vol 12, No 1 Januari 2016: 1149-1152, Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Bengkulu, Bengkulu. https://ejournal.unib.ac.id
  4. Puspita, Dewi, dkk., 2018. Efektivitas Lubang Resapan Biopori Sebagai Penguraian Sampah Organik dan Mencegah Genangan Air di Rumah Sakit Madani. Jurnal Kolaboratif Sains, ISSN: 2623-2022 Vol. 1, No. 1 (2018), Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Palu, Sulawesi Tengah. http://jurnal.unismuhpalu.ac.id
  5. Rahim, E.S., 2006. Pengendalian Erosi Tanah dalam Rangka pelestarian Lingkungan Hidup. Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.