ETNOGRAFI MASYARAKAT PAPUA
Tulisan ini merupakan hasil review dari jurnal berjudul “Masyarakat hukum adat dan hak ulayat di Provinsi Papua Barat sebagai orang asli Papua di tinjau dari sisi adat dan budaya, sebuah kajian etnografi kekinian” yang terbit dalam Jurnal Ilmiah Etnografi Papua Tifa Antropologi tahun 2013 karya Andreas Jefri Deda dan Suriel Semuel Mofu.
Topik yang diangkat dalam jurnal tersebut adalah masyarakat hukum adat dan hak ulayat di Papua Barat. Penelitian yang dilakukan dilatar belakangi oleh adanya eksistensi masyarakat hukum adat dan hak ulayat di Papua Barat yang apabila tidak diperhatikan dan/atau dihargai dalam proses pembangunan maka dapat mengganggu atau menghambat proses-proses pembangunan. Setidaknya ada 5 teori penting yang mengontruksi jurnal tersebut, yaitu:
- Manusia merupakan social animale (makhluk sosial) yang homo humanikus (memiliki rasa kebersamaan), homo ekonomikus (berlaku ekonomi untuk bertahan) dan homo kulturalis (mengembangan pengetahuan dan kearifan).
- Adat (traditie/recht) merupakan kebiasaan yang merupakan wujud kebudayaan yang terdiri dari nilai, norma dan aturan yang saling berkaitan menjadi sistem yang dipatuhi sebagai kebiasaan. Adat bersifat pribadi sehingga adat hanya bisa di pahami dengan mendekatkan diri pada nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat pemilik adat tersebut.
- Masyarakat hukum adat (Indigeneous people) adalah kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggota. Ciri-cirinya adalah mempunyai kesatuan manusia yang teratur, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai penguasa, mempunyai kesatuan kekayaan dan kesatuan hukum. Untuk Papua, MHA adalah masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya.
- Orang Asli Papua (Indigeneous People of Papua) adalah orang yang berasal dari rumpun Ras Malenesia yang terdiri dari suku-suku asli di Papua dan/atau yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat (hukum) adat Papua.
- Hak ulayat (Beschhikkingsrecht) atau hak patuanan/ landlord merupakan hak yang sangat tua dan asal mulanya bersifat keagamaan “religio-magis”, dipunyai suatu suku, desa atau gabungan desa namun tidak dipunyai individu. Masyarakat dengan tanahnya semacam memiliki hubungan lahiriah dan batiniah secara turun temurun.
Adapun temuan penting dari hasil penelitian yang diungkap dalam jurnal tersebut setidaknya dapat ditarik menjadi 5 temuan utama yaitu:
- Wilayah budaya MHA Papua dibagi menjadi 7 yaitu Wilayah I disebut dengan wilayah TABI atau MAMTA meliputi suku yang mendiami dataran sungai memberamo sampai sungai tami. Wilayah II disebut dengan wilayah SAIRERI meliputi suku yang mendiami wilayah teluk saireri. Wilayah III disebut dengan wilayah DOBERAY meliputi suku yang mendiami wilayah kepala burung. Wilayah IV disebut dengan wilayah BOMBERAI meliputi suku yang mendiami wilayah teluk bintuni hingga mimika. Wilayah V disebut dengan wilayah HA-ANIM meliputi suku yang mendiami wilayah Asmat sampai Kondo (merauke). Wilayah VI disebut dengan wilayah LA PAGO meliputi suku yang mendiami daerah pegunungan tengah daerah timur. Wilayah VII disebut dengan wilayah ME PAGO meliputi suku yang mendiami daerah pegunungan tengah daerah barat. Untuk wilayah Papua Barat tergolong pada wilayah DOBERAY dan BOMBERAI.
- Distribusi bahasa Papuan dan Austronesian di Papua Barat tergolong merata keseluruh tempat. Kantong penutur Austronesian berada di wilayah teluk wondama, teluk bintuni, kaimana dan fak-fak serta hampir seluruh wilayah pantai di Manokwari, Sorong dan Raja Ampat. Kelompok bahasa Papuan umumnya di gunung dan lembah seperti pegunungan arfak, ihandin, tambraw, maybrat dan moi.
- Sistem kepemimpinan terbagi menjadi 2 yaitu kerajaan dan campuran. Ciri utama sistem kerajaan adalah kedudukan pemimpin adalah pewarisan kepada anak laki-laki sulung dari pemimpin yang berkuasa. Jika tidak memenuhi syarat maka dapat diwariskan kepada adik atau saudara laki-laki ayah. Sistem ini merupakan akulturasi antara kebudayaan papua dan maluku. Legitimasi sistem ini dapat melalui mitologi (religi atau keturunan. Ciri utama sistem campuran adalah pemimpin tidak selalu pada garis keturunan, sekali-kali dapat beralih ke orang lain yang memiliki kemampuan mengatasi masalah yang timbul. Pendukung sistem pewarisan seperti di raja ampat orang kawe, maya, matbat, moi dan baser. Di semenanjung onin (fakfak) seperti Iha, Onin dan mbaham. Di kaimana dan bintuni seperti orang kowiai, irarutu, mairasi, buruai, kamberau dan kamoro. Pendukung sistem kedudukan/ campuran seperti orang Maybrat dan di Teluk Cenderawasih. Pencapaian kedudukan ini pada prinsipnya dlihat dari kekayaan.
- Sistem penguasaan tanah di papua berkaitan dengan kekerabatan, kekuasaan, kepemimpinan, sumber nafkah, cerita rakyat, ritus dan alam roh. Hubungan ini yang disebut “religio magis” karena terdapat ikatan batin dengan manusianya. Sistem penguasaan tanah terbagi menjadi 2 yaitu kepemilikan komunal dan individu. Kepemilikan komunal terbagi lagi menjadi 2 yaitu berbasis marga kecil (marga tertentu) atau marga besar (suku). Untuk kepemilikan individu adalah kepemilikan berbasis keturunan bukan perorangan. Walaupun terdapat hak perorangan, namun kekuasaan pemimpin dalam kelompok tetap memiliki prioritas atas hak penguasaan tanah sehingga hak persekutuan bersifat primer sedangkan perorangan bersifat sekunder.
- Transformasi kebudayaan pada umumnya terjadi karena adanya intervensi kekuasaan dan budaya eksternal. Beberapa contoh transformasi diantaranya adalah dalam berbahasa, di Papua Barat secara berangsur-angsur terlah mengalami peralihan bahasa “shifting code” dari bahasa ibu (asli) ke bahasa melayu/ nasional. Oleh karena itu, bahasa menjadi sulit untuk dijadikan indikator asal usul karena generasi muda sudah mulai banyak yang tidak menuturkan bahasa asli. Pada sistem kepemimpinan, secara umum telah bergeser ke dalam satu bentu kepemimpinan yaitu “kepala suku” yang mulai berkembang atas inisiatif belanda untuk mengangkat seseorang menjadi kepala suku yang dianggap mampu berkomunikasi dengan perwakilan belanda saat itu untuk menjadi pemimpin kelompok masyarakat. Dengan demikian saat ini telah menjadi umum dalam suatu kelompok masyarakat memiliki seorang kepala suku. Dalam hal penguasaan tanah, sebelumnya penguasaan lebih dominan pada anak tertua atau pada pemilik kekuasaan pada suatu kelompok, namun saat ini penguasaan tersebut setiap individu dapat tampil sebagai penentu penguasaan tanah sehingga dapat berperan dalam memindahtangankan penguasaan tanah tanpa memperhatikan faktor “religio magis” dan eksistensi budaya setempat. Hal tersebut membuat penguasaan tanah menjadi carut marut dan eksistensi adat menjadi tergerus. Nilai kultural tanah menjadi bergeser pada nilai ekonomis semata.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari jurnal tersebut adalah bahwa budaya bersifat dinamis namun perkembangannya harus dapat dipertanggungjawabkan. Kecenderungan transformasi budaya di Papua Barat lebih mengarah pada tipe homo ekonomikus dibanding ke tipe homo humanikus. (MT)